Maksud Hadiwijaya, aku seorang pembunuh? Lelaki jahat itu menuduhku? Aku tahu ia licik. Menghancurkan masa depanku saja mampu, apalagi sekadar memanipulasi keadaan. Hadiwijaya pikir, aku wanita naif seperti belasan tahun lalu. Aku bukan lagi anak kecil. Maka, ketika ia menyebut bahwa aku pembunuh Andi, ingin rasanya kutebas habis lehernya ituPermainan Hadiwijaya sudah mampu aku baca. Kutebak, si licik ini sudah membuat skenario dari awal. Seharusnya aku tak lupa pada jam dinding di vila hari itu. Vila yang ternyata milik Hadiwijaya. Setelah aku pikir-pikir, jam dinding dan gaya vila tersebut sudah memberikan clue. Bisa-bisanya aku lupa. Jam yang sama di rumah Hadiwijaya. Pantas saja aku tak asing dengan benda tersebut. Saat kecil, aku hampir membuat jam itu rusak. Hadiwijaya memarahiku, mengatakan bahwa aku anak yang nakal.
“Kamu tahu, jam itu mahal! Hanya ada tujuh di dunia. Aku punya dua dan yang lainnya dimiliki oleh orang-orang terpandang. Orang dari kalangan rendahan macam kamu mau merusaknya? Bahkan, ginjalmu tidak bisa membelinya.” Aku masih ingat ucapan Hadiwijaya hari itu.
Vila yang diakui Andi, jika sedikit saja menggunakan ilmu cocoklogi, sudah tentu aku bisa tahu bahwa model bangunan vila itu sama dengan rumah Hadiwijaya. Si tua bangka sengaja memfasilitasi vila sebagai umpan. Dari fakta yang baru aku sadari hari ini, bagaimana aku bisa percaya omongan dia?
Menurutku, itu hanya alibi Hadiwijaya. Seperti yang ia ucapkan barusan, ia sengaja menyuruh Andi untuk memikatku agar perjodohan ini batal. Aku yakin, tak hanya hal sederhana itu yang ia inginkan. Lelaki jahat ini pasti membuat skenario yang lebih picik dari itu. Ia pasti merencanakan sesuatu, tanpa persetujuan Andi.
Hadiwijaya yang membunuh Andi! Lelaki itu sudah menyusupkan seseorang ke vila hari itu. Ia ingin kematian Andi membuatku dalam masalah. Hadiwijaya mau aku menjadi tersangka, lalu dipenjara karenanya.
“Kamu mengerikan, Nara. Kamu cabik lelaki itu. Kamu potong kelaminnya. Saya rasa, kamu punya kelainan. Sepertinya saya harus melaporkanmu ke polisi, sebelum ada korban selanjutnya.”“Berhenti membual, manusia jahat!” geramku padanya. “Anda pembohong ulung. Anda manusia picik. Semua dusta yang Anda ciptakan, hanya untuk mencelakakanku. Sebelum Anda melapor, aku akan lebih dulu melaporkan pelecehan yang kamu lakukan!” Saat mengatakan itu, tubuh dan suaraku bergetar.
“Saya punya bukti.” Ia mengatakan omong kosong lagi.
“Saya bisa membuktikannya. Kamu bisa menonton CCTV di kamarku. Mau ikut?” Hadiwijaya menggerakkan tongkat.
Aku bergidik ngeri. Masuk ke kamarnya. Aku yakin ini hanya alibi. Ia ingin mencelakaiku. Aku tak jamin bisa pulang dengan selamat jika menuruti ajakannya. Aku segera mengambil langkah. Kuayunkan kaki ke alat vitalnya, membuat lelaki itu hampir sekarat di atas lantai. Selama Hadiwijaya kesakitan, aku menggunakan kesempatan untuk lari sebelum nasib buruk menimpaku di sini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
Gizem / GerilimSetelah kematian Ayah, petrikor menjadi aroma yang kubenci. Bagiku, aroma tersebut seperti kutukan yang selalu menggandeng kejutan yang tak pernah kuminta. Seperti saat ini, setelah malam kemarin ia bertandang, esok harinya aku disuguhkan oleh jasad...