Bab 9

55 7 2
                                    

Suasana tegang. Andi diusir sebelum sempat melihatku terduduk di lantai dengan rambut berantakan. Kuharap ia tetap bertahan, membantuku agar tak ada memar di bahu hasil maha karya Ibu. Sayangnya, bisikan Ibu di telinga Andi seperti mantra yang membuat lelaki itu melangkah tanpa beban. Aku tahu Ibu gila, tetapi jauh dari sangkaanku bahwa wanita itu juga psikopat. Ceceran rambutku di atas lantai adalah bukti seberapa beringasnya wanita itu.

Aku tidak menyangka bahwa pagi itu Andi akan datang ke rumah. Seperti pahlawan bertopeng, ia tiba-tiba mengutarakan niat, padahal kami belum membicarakan apa pun ke depannya, selain lamaran absurd tempo hari. Langkah Andi ceroboh, hingga membuat semuanya hancur di awal.

“Saya dan Nara sudah serius, Bu. Saya ingin menikahi Nara.”

Aku tersedak ludah sendiri dan Ibu tersedak teh yang sedang ia minum.

Mata Ibu kontan memelototiku, seolah-olah bertanya, “Ada apa ini? Bisa kamu jelaskan?”

“Memang sejak kapan kalian pacaran?” tanya Ibu. “Sejak kapan, Nar? Kamu nggak pernah bahas soal punya pacar, lho.”

Tentu saja proposal Andi Ibu tolak. Andi sedikit bersikeras, sedangkan aku hanya membungkam mulut kuat-kuat. Tak kalah seperti Sekar tempo hari, berhadapan dengan Andi membuat Ibu jauh lebih anarkis. Ia melempar gelas. Syukur tak tepat sasaran. Selepas berhasil membuat Andi hengkang, Ibu menghampiriku, menampar, menjambak, dan melemparkanku ke lantai.

“Sinting kamu, Nara! Kamu mau Ibu mati di tangan kakekmu?”

Aku menatap mata Ibu dengan nanar, tanpa berniat membuka mulut, menjawab sumpah serapah yang sedang Ibu tabur.

“Jangan main-main kamu, Nara!

"Tinggalin lelaki tadi atau Ibu bunuh dia!” Ibu berteriak lantang. Saat mengatakan itu, kepala Ibu mendongak jemawa. Dadanya naik turun. Telunjuk mengacung, sedikit gemetar.

Setelah kejadian itu, Andi tidak menghubungi sama sekali. Namun, dua hari kemudian, ia hadir kembali.

“Sori, Ra, aku baru ngehubungi kamu,” katanya di telepon.

“Oke, nggak masalah. Jadi gimana? Kamu nyerah?” todongku.

Andi tertawa renyah. “Menurutmu, aku tipe lelaki mental kerupuk, gitu?”

“Nggak, sih. Lebih ke tipe ... berengsek!”

Aku tidak bohong. Tatapan Andi yang sensual terkadang menggelitikku untuk bertanya, berapa wanita yang sudah kena bujuk rayunya. Meski begitu, persetan dengan tebakan tadi. Andi memiliki kunci penting agar aku tak lagi bertemu Hadiwijaya. Pernikahan tanpa cinta pun tak lagi penting. Semua bisa dibicarakan nanti.

Alih-alih tersinggung, lelaki itu malah tertawa. Sepertinya ia memang gemar menertawakanku. “Ancaman ibumu tempo hari nggak berarti apa-apa, Nar.”

“Ibuku mengancam apa?”

“Kamu mau tahu? Wah, kalau begitu, sepertinya kita harus bertemu.”

“Ini jebakan?” Aku tersenyum. Jelas, Andi tak bisa melihatnya.

“Ya ... bisa dibilang begitu. Habisnya, kalau ketemu kamu, harus ada agenda pembicaraan dulu. Jadi, Nona, bagaimana kalau kali ini kita ketemu di vila?”

“Vila?”

“Ya, vila.”

“Kamu punya vila?”

“Emmm, bukan, sih. Itu vila milik keluarga. Sekalian aku kenalin kamu ke keluargaku di sana.”

Tanpa pikir panjang, aku mengirim pesan ke kepala toko, izin tidak enak badan. Aku berbohong pada Ibu, seakan tetap masuk kerja. Andi menjemput jauh dari rumah.

Selama perjalanan, aku memeluk Andi yang sedang mengendarai motor. Kunikmati semua kegilaan ini. Namun, jika tahu yang akan terjadi setelahnya, demi Tuhan, aku tak akan mau pertemuanku dengan Andi terjadi.

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang