Rumah Hadiwijaya sangat besar. Itulah sebabnya kusebut dengan istana. Pilar-pilar kokoh menopang setiap sudut, seperti jubah kebesaran yang membuat siapa saja merasa takjub. Tak terkecuali Ibu. Meski pernah tinggal di sini selama satu dasawarsa lebih, tak membuat dahaga Ibu akan obsesinya tuntas. Tatapan pada rumah ini masih begitu berbinar.
Aku berjalan perlahan, seperti pengantin yang sedang menginjak papan berduri. Seorang wanita paruh baya membuka pintu. “Monggo, Bu, masuk. Kata Bapak, tunggu sebentar di ruang tamu. Beliau sedang ada meeting sebentar di luar.”
Sebentar yang dikatakan pelayan itu tentu saja dusta. Sudah aku duga, Hadiwijaya tak mungkin membiarkan kami berada di sini tanpa hinaan. Dua jam kami menunggu, beberapa kali menanyakan pada beberapa pelayan yang hilir mudik di depan kami.
“Bapak masih lama, Mbak?”
“Kira-kira berapa lama lagi, Mbak?”
“Bapak sudah mengabari, Mbak?”
Deretan pertanyaan Ibu selalu dijawab sama. “Saya kurang ngerti, Bu. Saya cuma diamanahkan agar Ibu dan keluarga menunggu di sini sampai Bapak pulang.”
Jangan harap makan malam ala Eropa yang Ibu harapkan tercipta. Hanya air putih yang tersaji di atas meja, seakan gaun-gaun mewah tak memiliki nilai apa pun di rumah ini. Tepat pukul sembilan malam, seorang lelaki tua berjalan dengan tongkat, masuk ke ruang makan. Tubuhnya lebih gempal dari yang terakhir aku lihat. Kulitnya lebih longgar dan uban di kepala menjadi 100%. Ia tersenyum ke arah kami, yang tentu saja Ibu balas semanis mungkin.
“Sudah lama?”“Nggak, kok, Pa.”
Lelaki itu tak menjawab. Mimiknya serius saat menarik satu kursi di hadapan kami.
“Jadi, bagaimana?” Hadiwijaya langsung pada topik pembicaraan. Bersamaan dengan itu, ia menjentikkan jari, memberi isyarat kepada para pelayan untuk mengeluarkan hidangan.“Sesuai yang sudah disepakati, Pa. Nara sudah dewasa. Dia siap dijodohkan dengan pilihan Papa.”
Dua pelayan membawa baki. Mereka menurunkan tiga piring berisi mi instan. Mi instan! Tatapan Sekar mendadak berubah. Kaki yang semula sopan, mendadak lupa tempat.
“Sekar!” Ibu menegur dengan suara pelan.
“Kenapa, Bu? Bukannya begini cara makan di warteg?”Hadiwijaya berdeham. “Ratna, cara apa yang kamu pakai buat membesarkan anak kamu?”
Ibu gelagapan. Beberapa kali ia meminta Sekar menurunkan kaki. Namun, gadis itu makin menjadi. Ia ambil piring di hadapannya, memakan mi instan seperti preman kelaparan. Ibu tak bisa berbuat banyak. Ia hanya bisa memelototi Sekar sepanjang anak itu memasukkan makanan ke mulut hingga tandas.
“Oke, Ratna. Pertama, aku nggak bisa menikahkan anakmu kalau nggak punya adab yang bagus. Lingkaran kekerabatanku bukan orang sembarangan.”
Wajah Ibu pias.
“Tapi, kamu beruntung karena bukan putrimu yang itu yang akan kita jodohkan,” lanjut Hadiwijaya. Wajah pias Ibu memudar.
“Yang kedua, ada satu syarat agar perjodohan ini berlanjut. Apakah dia masih perawan?” Hadiwijaya menatapku. Aku memindai tajam ke wajah Hadiwijaya. Wajah lelaki yang aku benci seumur hidup.
Teringat pisau yang Sekar berikan, aku meraba saku, memegang perlahan benda tersebut. Sekelebat pikiran untuk menghunuskan pisau itu pada Hadiwijaya hadir, tetapi urung aku lakukan karena sadar bahwa aku bukan seorang pembunuh.
Perlahan aku lepas kembali benda itu. Sebagai gantinya, aku bangkit, meninggalkan semua manusia di sana. Persetan dengan Ibu.
Ketika derap langkahku melaju, denting jam tua menggema di udara. Kontan aku menghentikan gerakan tungkai. Mataku terpaku pada benda di dinding. Jam yang sama dengan yang aku temui di vila Andi..
.
.
.Sampai sini udah bisa menebak siapa pelakunya?
Kalau belum, mari kenalan dengan tokoh baru di episode besok.

KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
Misteri / ThrillerSetelah kematian Ayah, petrikor menjadi aroma yang kubenci. Bagiku, aroma tersebut seperti kutukan yang selalu menggandeng kejutan yang tak pernah kuminta. Seperti saat ini, setelah malam kemarin ia bertandang, esok harinya aku disuguhkan oleh jasad...