Bab 16

55 7 1
                                    

“Kakek nggak suka Nara, Yah.”

“Bukan nggak suka. Kakek cuma nggak pandai menunjukkan perasaan. Bukan sama Ibu atau Nara aja, kok. Dulu waktu Ayah kecil, Kakek juga cuek. Kamu tahu, kenapa Kakek punya kepala botak?”

“Kenapa?”

“Soalnya Kakek banyak pikiran. Kerjaan Kakek banyak. Dia udah pusing di tempat kerja. Sampai di rumah, Kakek penginnya istirahat. Nara kalau sudah main, gimana rasanya?”

“Capek, haus.”

“Nah. Itu yang Kakek rasain. Kakek penginnya langsung makan, masuk kamar, terus tidur. Jadi, kalau Kakek nggak ngejawab pas Nara panggil, jangan marah ya. Itu karena Kakek lagi capek aja. Kakek itu sayang sama Nara.”

Saat kecil, aku hanya mengangguk ketika Ayah menceritakan citra palsu Hadiwijaya. Kenaifan itu aku bawa sampai Ayah meninggal, kecelakaan di jalan tol ketika akan bekerja. Konon hari itu hujan. Ayah kelelahan, lalu tergelincir.

Setelah Ayah tiada, barulah aku tahu bahwa apa yang selama ini ia kisahkan hanya kebohongan. Apa aku membenci Ayah? Tentu saja tidak. Ayah temanku satu-satunya. Ketika Ibu selalu sibuk tidak jelas, Ayah satu-satunya orang yang mau memberikan bahunya. Jadi, siapa pun akan mengerti bahwa ketika Ayah tiada, aku tidak baik-baik saja.
Aku menengadah ke langit. Awan hitam berjalan beriringan, menghantarkanku pada ingatan bahwa Ibu memang tak pernah menghendaki kehadiran putri-putrinya. Salah satu buktinya, ia tak pernah datang sama sekali ke acara sekolah.

“Kok, kamu nggak ke acara kelulusan Nara, sih?”

“Halah! Baru lulusan TK ini,” jawab Ibu santai seraya membuka anting di telinga.

“Bukan masalah TK, SD atau apa pun itu. Hati anak kamu sedih!”

“Kan, ada kamu, Yah. Kamu bisa datang ke sana. Aku sibuk. Ada arisan sama ibu-ibu pejabat. Lagian, Nara itu anak kita berdua. Kenapa harus aku yang tanggung jawab sendiri? Aku tuh harus masuk kelompok sosialita, Yah. Kalau nggak, papamu tambah malu punya menantu miskin, juga kuper.”

Kalau tidak menguping perdebatan mereka dulu, aku tak akan tahu bahwa lebih dari tiga kali tidak hadir ke acara sekolah, bukanlah perkara sibuk. Bagi Ibu, aku tak penting. Satu-satunya alasan ia membawa anak-anaknya karena tahu bahwa kami punya potensi untuk mengambil kembali posisi di rumah Hadiwijaya. Bukan karena ia seorang ibu. Lantas, untuk apa aku bertahan di sisi Ibu? Hujan mulai turun dan petrikor perlahan menguar, menambah bobot air mata yang berusaha aku tahan.

Kalau saja Ibu tak menggerogoti gajiku selama ini, mungkin aku bisa memiliki tabungan, lalu kabur dengan mudahnya. Aku menyesal harus tertahan karena Sekar. Seharusnya aku abaikan saja dan bergegas pergi dari rumah terkutuk itu. Jadi, gaji bisa dikelola sendiri. Aku bisa menabung dan menarik Sekar dari sana, sehingga ia tak jadi sesakit ini.

Satu jam lamanya aku diguyur hujan. Mata terasa berat sekali. Ketika kembali terjaga, hujan sudah reda. Bajuku setengah kering dan tubuh terasa hangat. Baru aku sadari, ada seseorang duduk sampingku. Lelaki berperawakan tinggi besar dengan codet di dahi.

Ia tersenyum dan mengatakan, “Selamat datang. Tak perlu takut. Aku akan selalu menemanimu.”

.
.
.
.

Hai tokoh baru, tunjukan pesonamu!wkwkwkwk

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang