Biar aku beri tahu, apa penyebab dan sejak kapan kebencianku pada Hadiwijaya terjadi. Semua terjadi begitu cepat, secepat lelaki itu mengeluarkan hasratnya.
Pagi itu Ibu bilang mau keluar bersama Sekar. Semenjak kematian Ayah, hidup Ibu seperti tanpa sangkar. Kesehariannya hanya menyenangkan diri, menghabiskan uang bulanan dari Hadiwijaya. Ketika pulang, sepuluh tas belanjaan pasti akan menghiasi tangannya.
"Ibu pergi dulu sama Sekar, ya. Nara di rumah dulu sama Kakek."
"Iya, Bu." Dan aku menyesal telah mengatakan iya. Kalau saja aku menolak, merengek minta Ibu membawa serta, mungkin tak perlu ada catatan hitam yang sulit dipudarkan.
"Diam!" Suara Hadiwijaya bersahutan dengan gelegar petir hari itu.
Tangan keriputnya memegang kuat kedua tanganku. Aku hanya bisa menggigil, memandangnya dengan nanar. Berkali-kali memohon ampun, meminta ia melepaskanku, tetapi Hadiwijaya sudah telanjur menjadikanku santapannya. Dengan penuh peluh, ia menghina, merusak masa depanku!
"Kamu pikir, hidup kalian di sini gratis? Ibumu pengeretan. Ia murahan! Anaknya pasti nggak kalah murahan saat besar nanti. Jangan merasa sedih karena ke depannya pun, hal yang sama pasti terjadi sama kamu. Jadi, anggap ini bayaran selama kalian tinggal di sini!" ucapnya seraya membenarkan kancing kemeja.
Kalau ada manusia paling menjijikkan di dunia ini, itulah Hadiwijaya. Ia lebih beringas daripada harimau, lebih bodoh dari koala, juga lebih binal dari seekor kuda. Kalau tidak, mana mungkin ia tega berbuat sekeji ini pada cucu sendiri.
Hadiwijaya meninggalkanku yang terhina bersama aroma petrikor. Aroma yang selalu hadir bak sebuah kutukan. Hari itu aku menatap punggung Hadiwijaya dengan penuh kebencian, seratus dua puluh kali lipat dari biasanya. Dan tahukah bagian paling mengenaskan?
"Kakek perkosa Nara, Bu." Aku kembali menumpahkan tangis setelah Ibu tiba di rumah.
Ibu terdiam beberapa saat. Aku mengharap uluran tangan Ibu. Aku ingin ia menubrukku, mendekap kepala hingga air mata membasahi bajunya, kemudian marah karena sudah ada yang merusak putrinya.
Luar biasa! Kukira hanya Hadiwijaya yang otaknya rusak. Ternyata kepala Ibu juga ikut korsleting.
"Mana mungkin! Kakekmu manusia terhormat. Jangan ngada-ngada kamu, Nar!"
Semenjak itu, aku mengharamkan mulut ini untuk mengadu apa pun kepada Ibu. Aku menyadari bahwa ia lebih takut kehilangan uang Hadiwijaya dibanding harga diri anaknya. Ibu dan Hadiwijaya memang satu frekuensi. Sama gilanya!
Wajah Ibu dibanjiri senyuman, bahkan sesekali berdendang saat mengantarkanku bertemu Hadiwijaya. Aku seperti pengantin bom bunuh diri. Setiba di halaman rumah Hadiwijaya.
Ibu memejamkan mata, menghirup udara banyak-banyak. Aku meringis, mempertanyakan, mengapa Ibu tak memiliki harga diri? Lupakah dia pada kejadian Hadiwijaya menendang kepalanya saat ia sedang bersimpuh?
Sekar merapatkan tubuh padaku. Ia memegang pundakku. Panas napasnya terasa di daun telinga. Bersamaan dengan itu, ia mengatakan sesuatu.
Q
"Kalau mau putuskan alat kelamin lelaki tua itu, sudah Sekar bawakan pisaunya buat Mbak." Sekar memasukkan sesuatu ke saku gaunku.
Kontan aku melirik pada Sekar dan ia mengembangkan senyum. Senyum seorang psikopat.

KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
Mystery / ThrillerSetelah kematian Ayah, petrikor menjadi aroma yang kubenci. Bagiku, aroma tersebut seperti kutukan yang selalu menggandeng kejutan yang tak pernah kuminta. Seperti saat ini, setelah malam kemarin ia bertandang, esok harinya aku disuguhkan oleh jasad...