Bab 6

66 9 5
                                    

Karena aku lagi happy naskah Semicolon ini menyabet juara 1 dalam parade novela batch 2 yang diadakan Queenly Project, jadi aku post 2 bab hari ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Karena aku lagi happy naskah Semicolon ini menyabet juara 1 dalam parade novela batch 2 yang diadakan Queenly Project, jadi aku post 2 bab hari ini.

Selamat membaca dan mencari misteri dalam cerita.

.
.
.
.
.

Katanya wanita difitrahkan mengeluarkan setidaknya dua puluh ribu kata dalam sehari. Seperti balon yang harus dikeluarkan isinya sedikit demi sedikit agar tidak meletus, begitulah gambaran jika stok kata tak dikeluarkan secara sempurna.

Aku tak yakin bahwa diriku seorang wanita. Maksudku ... aku lebih nyaman tidak mengeluarkan banyak omong kosong. Bisa aku jamin, perbincanganku dengan Sekar maupun Ibu tak lebih dari seribu kata setiap hari. Kerap menghindar adalah jalan ninjaku agar tak terlibat banyak obrolan dengan siapa pun.  Memilih tak mau tahu tentang urusan orang, juga merupakan kebiasaan yang sudah tertanam sejak semua orang tak lagi memercayaiku, termasuk Ibu.

Malam ini ideologiku sepertinya harus digeser sedikit. Gelitik rasa ingin tahu tentang sosok wanita yang membuat Sekar jatuh cinta, ditambah gelang yang harus aku kembalikan, membawaku ke depan kamar Sekar. Bukan karena peduli. Tidak sama sekali! Ini semua tentangku. Aku hanya ingin tahu, apakah benar wanita itu adalah aku? Jika benar, setidaknya aku bisa memasang perisai lebih awal.

Begitu pintu kubuka, aroma mint bercampur pinus menguar dari diffuser warna merah muda miliknya. Asal tahu saja, Sekar ini pencinta pink. Sampai-sampai sembilan puluh persen dari isi lemarinya berwarna pink. Mungkin dari yang terlihat, tak ada yang akan menyadari bahwa adikku ini memiliki penyimpangan.

Ya, penyimpangan. Ironis, tetapi harus kuakui.

“Dek, gelang kamu ketinggalan di kamar Mbak.” Aku menyerahkan gelang berwarna cokelat. Dari gerak refleks menutup lukisannya, nampak gadis itu kaget akan keberadaanku. Per sekian detik, Sekar hanya memandang uluran tanganku, sebelum kemudian mengambilnya.

“Nggak Mbak simpen aja?” tanyanya.

Sebisa mungkin aku tidak mengatakan ‘Nah, kaaan!’ dalam hati. “Nggak. Itu punya kamu. Lagian, bukannya itu dari ... siapa namanya?”

Aku coba mengulik. Sekar tak menggeserkan pandangannya dari wajahku. “Dita, Mbak. Namanya Dita.”

Dita. Bukan Nara. Aku lega meski belum sepenuhnya percaya.

"Mbak ambil aja kalau, mbak mau."
Sekali lagi Sekar menawarkan.

Aku tetap menggeleng. Siap yang mau pada akhirnya terikat dengan adikku ini hanya karena gelang sialan. Sebisa mungkin kututup jendela kehidupanku dari segala sisi. Dari ibu dan Sekar. Menerima barang pemberian Sekar sama dengan mengatakan 'selamat datang'.

“Dek.” Hati-hati kutarik kursi belajar milik Sekar. “Ibu sudah tahu?”

“Tentang?”

“Dita.”

Sekar seperti berpikir sejenak, sebelum menjawab, “Seharusnya sudah.”

Ia menjawab enteng. Ada dua kemungkinan. Pertama, Ibu sudah berubah—jelas ini lelucon. Kedua, Sekar yang sedang melucu. Dibelah sekalipun kepala ini, aku belum lupa betapa melengkingnya teriakan Ibu saat Sekar ketahuan pacaran. Diam saat Sekar terindikasi lesbian? Yang benar saja!

“Ibu nggak marah?”

“Kakak peduli?”

Kutegakkan bahu yang semula condong ke depan, seperti warga kompleks ketika sedang bergosip.

Mbak nggak pernah peduli dengan siapa pun di rumah ini. Oh, tentu saja aku hanya bisa menyimpan kalimat itu di tenggorokan.

"Dita perempuan agamis. Mbak tahu nggak, dia Hafidzah?" tanyanya. "Penghafal qur'an." Jelas Sekar menekankan, seolah-olah aku awam dalam Agama.

Ya, Sekar tepat. Ibu tidak menghadirkan atmosfer agama dalam keluarga kami. Meski begitu, menganggap diriku tak tahu apa itu Hafidzah terlalu berlebihan.

Aku menggeleng. Alisku kuusahan tidak mengerut.

"Dia penghafal qur'an. Suaranya ... menenangkan." Saat mengatakan itu, Sekar tersenyum bak orang kasmaran. "Aku hampir putus asa, Mbak. Sekar ngga tahu gimana cara menjalani hidup. Hidup kita gini banget ya, Mbak. Norma agama dan sosial menyuruh kita patuh. Cuma itu... tanpa komunikasi dua arah. Tanpa hak menyampaikan pendapat."

Aku paham maksud Sekar ke mana.

"Tapi Dita bilang, tugas kita cuma bikin Allah seneng. Perintah itu tetep kita lakukan, meski berdarah-darah tujuannya biar Allah ridha. Jadi kalau kita berbuat baik, tapi orang yang kita baiki, yang kita hormati nggak pernah puas dengan bakti kita, nggak usah ngeras bersalah. Katanya nanti di akhirat sana, kita akan dihisab berdasarkan amalan kita sndiri. Kita nggak dihakimi terhadap amalan orang lain. Mbak...." Di bagian ini Sekar berhati-hati.

"Kita nggak akan mempertanggung jawabkan kelakuan dia dia kak," lanjutnya. Dan aku paham siapa dia di sini.

"Ada perasaan lega waktu Sekar dengeri itu, Mbak." Sekar menarik napas, menjeda ceritanya. "Mbak, boleh nggak Sekar hidup seumur hidup sama Dita? Boleh nggak Sekar jadiin Dita sahabat, Ibu sekaligus cinta terakhirnya Sekar? Aku nggak mau Dita pergi dari hidup Sekar, Mbak." Mendadak mata Sekar berkaca-kaca. Pemandangan itu mengingatkanku pada Yunara yang minta dimengerti.

Suasana mendadak sunyi. Aku dan Sekar bertatap wajah per sekian detik.

"Mbak." Sekar memecah kecanggungan di anatara kami. "Mbak masih peduli sama Sekar?"

Suara ketukan di pintu utama membantuku terhindar dari dosa jawaban penuh kebohongan— bahwa aku peduli —yang sedang kurancang dalam kepala. Terhindar pula dari obrolan yang entah bagaimana aku harus meresponnya.Tuhan baik sekali, tak membiarkan catatan Malaikat Atid tentangku bertambah.

Begitu kubuka, mata memicing sejenak. Lelaki tampan, kutaksir berperawakan kurang lebih 175 sentimeter, berkulit putih serta berkacamata, berdiri di hadapan. Di tangannya ada benda yang aku kenal.

“Yunara?”

“Ya.”

“Ah, saya tahu nama kamu dari identitas di dompet ini.” Ia seolah-olah bisa membaca yang aku pikirkan.

“Kemarin waktu kita tabrakan di stasiun. Ingat?”

Aku mengangguk.

“Nah, dompetmu jatuh. Aku kembalikan. Oh, ya, tadi mobil saya mogok pas mau ke sini. Sekarang udah di bengkel, terus saya lagi nunggu. Nah—”

“Ah, ya. Saya ngerti.” Aku mengeluarkan selembar uang. “Ini. Makasih, ya. Buat beli bensin.” kuulurkan uang seratus ribu.

“Nggak, Mbak. Bukan ini. Saya izin numpang bentar sampai temen saya jemput,” tutur lelaki itu, meluruskan. "Dia masih diperjalanan."

Beruntungnya lelaki ini karena Ibu sedang tidak ada. Sebagai ucapan terima kasih, aku persilakan ia masuk. Saat aku ke dapur hendak menyiapkan teh, keberuntungan lelaki itu tak bertahan lama. Sekar berteriak lantang di ruang tamu dan kulihat kepala hingga bahu lelaki itu sudah basah kuyup.

.
.
.
.
.

Masih mau lanjut dan jadikan wacana give away?

Yuk ramaikan bintang, komen dan kabari teman-teman untuk mampir ke cerita ini.

SemicolonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang