Tiga alasan kenapa sampai saat ini aku tidak memutus komunikasi dengan Andi. Pertama, aku merasa hubungan Andi dengan orang tuanya satu frekuensi denganku. Kedua, Andi lebih dari sekadar penyihir. Ia memasuki masalahku, lebih dari yang aku kira. Andi menembus dinding kuat yang sudah kubangun puluhan tahun, hanya dengan sekali sentuhan. Aku curiga, jangan-jangan ia psikolog yang menyamar atau mengaku sebagai fotografer. Ketiga, lelaki itu sering mentraktir makanan enak dan mahal. Sesuatu yang jarang aku dapatkan karena gaji tidak cukup untuk self reward seperti para pekerja pada umumnya.
“Kamu nggak harus sesempurna itu.” Salah satu kalimat yang ia ucapkan saat aku memotong steik dengan presisi. Terbiasa dituntut sempurna oleh Ibu, secara tak sadar membentuk karakter yang semuanya harus tertata rapi.“Berantakan itu bukan dosa, Ra,” tambah Andi.
“Aku lupa caranya hidup tak terukur,” jawabku seraya terus memotong.
Andi satu-satunya orang yang berhasil membuatku membuka mulut, menyatakan perasaan yang selama ini hanya menggulung di dada. Itulah sebabnya, aku sebut dia pencuri pikiran.
“Ra, kamu hidup di keluarga macam apa, sih? Maaf, tapi keluargamu sepertinya lebih problematik daripada keluargaku. Kamu lebih hancur daripada aku.”Aku enggan menjawab. Memangnya, ada yang harus aku jawab? Ucapan Andi semuanya benar, tanpa perlu disangkal.
“Perlu aku bantu?” Mata Andi menatap serius.
“Nggak usah. Bentar lagi selesai.” Aku menggeleng.
“Gimana dengan Sekar?” Andi memasukkan steik ke mulutnya.Aku mengangkat bahu. “Kuharap Ibu segera sadar, jadi bisa segera bawa anak itu ke rumah sakit jiwa. Kasihan juga kalau terus didiamkan.”
Dan kasihan aku jika Sekar terus di rumah, lalu merusak hidupku sepanjang hari. Andi hanya manggut-manggut.
“Kamu harus belajar hidup berantakan.” Andi mengajarkan sesuatu yang tidak biasa. Ia mengeluarkan sebatang rokok. “Mau coba?”
Kepulan asap menerpa wajah dan aku terbatuk. Bukan merasa bersalah, Andi justru tertawa. “Ra, kamu harus tahu, inilah aroma kebebasan.”
“Nope. Thanks.”
“Gimana sama perjodohan kamu?”
“Tinggal menunggu waktu.”“Aku kayak ngelihat terpidana mati menunggu waktu eksekusi.”
“Maka dari itu, aku butuh energi banyak untuk bisa menjalani eksekusi itu. Makasih sudah banyak mentraktir pegawai toko yang biasanya hanya makan di pujasera belakang mal ini.”
Andi kembali tertawa, lalu melanjutkan isapannya pada sebatang rokok di tangan. “Ra aku serius. Mau aku bantu?”
“Tentang?” tanyaku, tak paham. “Steik aku sudah hampir habis.”“Ini bukan tawaran memotong steik.” Andi berdeham sejenak. “Ayo, menikah!”
Sialnya, bukan wajah bercanda dari lelaki itu.
“Kamu butuh solusi, kan? Ini solusi dariku.”
Aku masih memandang wajahnya, tanpa ekspresi. Menikah tanpa cinta? Seperti yang Ibu lakukan dengan Ayah? Aku seperti dihadapkan pada gerbang luas yang sudah terbuka lebar. Hanya ada dua pilihan. Maju agar aku tak jadi santapan singa atau mundur, kemudian abadi menjadi putri dalam sangkar yang harus menjalankan kehidupan dengan kisah tragis.“Satu.”
Aku masih bergeming.“Dua.”
Masih kutatap wajahnya lamat-lamat.“Oke, aku tak terbiasa dengan kesempatan ketiga. Jadi, aku anggap itu jawaban.” Andi tersenyum penuh karisma. Ia berdiri menuju meja kasir, melewati papan bertuliskan area bebas merokok.
Tak butuh lama dari ajakannya yang frontal tersebut, Andi lelaki tidak waras itu datang ke rumah, lalu menciptakan kekacauan.
![](https://img.wattpad.com/cover/327457277-288-k147304.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Semicolon
Misteri / ThrillerSetelah kematian Ayah, petrikor menjadi aroma yang kubenci. Bagiku, aroma tersebut seperti kutukan yang selalu menggandeng kejutan yang tak pernah kuminta. Seperti saat ini, setelah malam kemarin ia bertandang, esok harinya aku disuguhkan oleh jasad...