6. Di Gang Ke Tiga

217 13 0
                                    

"KENAPA nggak telepon dulu?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"KENAPA nggak telepon dulu?"

Dahlia jadi kecil hati. Setelah mendatangi langsung bengkel Diamond, kini seratus persen ia yakin kalau sebentar lagi tabungannya akan terkuras habis demi menjemput mobil kesayangannya. Sejauh matanya memandang, Dahlia hanya bisa melihat antrian mobil mewah berjejer di area workshop. Mobil-mobil itu bahkan sebagian besar ia tak tahu apa mereknya karena terlalu garang walau hanya untuk dilihat karyawan swasta bergaji pas-pas'an sepertinya. 

Bulu kuduk perempuan muda itu merinding, menjalar dan malah membuatnya pusing. Dahlia membatin, memikirkan biaya perbaikan yang nanti tercetak di lembar tagihan seusai mobilnya mulus kembali. Jujur kali ini ia benar-benar tidak tahu harus berucap apa pada Sabian karena ia terlalu malu.

Semua kalimat yang sudah ia tata di lidahnya buyar seketika. Tatapan Sabian yang tajam membuat Dahlia kalah telak terlalu dini. Ia sudah tidak memperhatikan penampilannya yang berantakan setelah memberanikan diri datang menggunakan ojek online.

"Maaf, Mas. Aku baru aja kelar meeting di daerah sini, dan kepikiran aja langsung ke bengkel. Ternyata Mas Bian belum pulang?"

Sabian menyalakan rokok dengan lighter emas adalannya. "Kalau ternyata saya udah pulang, memangnya kamu mau ketemu siapa di jam pulang kerja kayak gini? Security itu nggak akan ngasih orang sembarangan masuk buat ngecek unit." 

Dahlia semakin merasa salah. "Maaf, Mas."

"Maaf melulu. Kamu niatan nelpon saya aja nggak kan? Mobil kamu di dalem, udah nyelak berapa antrian tuh? Kalau tahu ownernya nggak care gini sih, mending pending aja kali ya jadwal paintingnya?"

"Yah, jangan dong. Aku nggak ada kendaraan buat kerja, aku juga belum hafal pakai transportasi umum di Jakarta, Mas."

"Udah, ikut saya." Titah Sabian bersamaan dengan asap keperakan yang menguar di sekitarnya. Ia memuntungkan rokok dan berjalan ke arah workshop. "Ayo, Lia!" serunya sekali lagi.

Niat hati hanya mengecek keadaan mobilnya, situasi malah seakan membuat Dahlia semakin terjebak. Ia terlalu tak enak hati dan bingung walaupun ia meyakini sebenarnya mobilnya berada di tempat yang tepat. Dengan perasaan takut, ia pun mengikuti kemana langkah Sabian tertuju.

"Kamu cek deh bengkel mana yang nggak sampai dua minggu udah kelar repairnya. Masih inget kan mobil kamu seringsek apa? Emangnya saya nagih kamu? Nggak ada asuransi loh ini." Jelas Sabian sambil menunjukan unit repair itu pada Dahlia. Progersnya sudah delapan puluh persen, tinggal painting dan menunggu velg baru datang.

"Sumpah bukan gitu maksud aku. Aku nggak kabur kok Mas, kan KTP sama STNK udah saya kasih semua. Mas juga tahu kan rumah aku di mana?" Dahlia menyahut dengan tergagap, "aku bayar, Mas. Tapi boleh nggak aku minta waktu? Aku bener-bener baru pindahan ke sini soalnya.

"Boleh kok," tukas Sabian tanpa pikir panjang. "Karena kita tetanggaan ya, makanya saya kasih kelonggaran. Yang penting ada omongan langsung dari ownernya kayak gini sih, saya nggak masalah."

Leave Out All The RestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang