15. Tameng Dan Sandiwara

181 15 1
                                    

PADAHAL hanya suara getar ponsel, namun nakas tepat di samping ranjangnya seolah terkena guncangan gempa besar sampai-sampai Hera tersentak dari tidur pulasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

PADAHAL hanya suara getar ponsel, namun nakas tepat di samping ranjangnya seolah terkena guncangan gempa besar sampai-sampai Hera tersentak dari tidur pulasnya. Untuk memutuskan panggilan pagi buta itu akan dijawabnya atau tidak, Hera lalu memaksa mata kecilnya terbelalak, agar sebaris nama di layar ponselnya terbaca dengan jelas.

Wanita berusia kepala tiga itu meluruhkan dua bahunya. Setelan tidurnya kebesaran, berwarna putih kebiruan, tanpa motif, tanpa model seperti tumpukan piyamanya di apartement. Hera membenarkan letak kerahnya yang terlampau turun mengekspos collar bonesnya, sambil melenguh menahan pening, ibu jarinya pun bergerak menggulir layar ponsel.

"Kenapa Fa?"

Hera yang masih dalam proses mengumpulkan kesaradarannya itu, menoleh. Menatap nanar cermin besar di hadapan ranjang asing yang semalam ia tiduri. Wajahnya lalu merengut saat mendapati betapa kusut penampilannya saat itu. Menyebalkan, piyama khas pasien itu sangat tidak cocok untuknya.

"Woi, baru bangun ya lo Nek?"

"Hmmm... Gue cuti, soalnya nanti siangan mau kondangan. Ada apaan? Hancur deh acara bangun siang gue gara-gara lo!" ujar Hera dengan lancar bersandiwara.

"Sorry... sorry... Mau nannya doang kok Ra, habis itu serah lo deh kalau mau molor ampe sore!"

"Nanya apaan?" sambil meneguk segelas air di nakas, Hera terdengar terbatuk. Yang mana hal itu tak ia sangka membuat Daffa jadi khawatir di seberang sana.

"Sakit lo ya?"

"Keselek..."

"Bohong lo!"

Hera berdehem berulang kali. Tanpa ia ketahui kalau Daffa bisa menangkap sesuatu yang tak beres dari dirinya dengan mudah.

"Flu doang Daffa! Bawel dah. Terus lo kenapa ini pagi-pagi nelpon gue?"

"Habisnya dari closing kemaren lo aneh banget. Nggak ada kedengeran berisiknya, kan gue jadi jiper Nek. Tepar ternyata lo?"

"ASTAGA INI MAU NANNYA APAAN BURUAN SETAN!!!!"

" Oh iya.. Iyaa, buset lupa gue! Barusan Tiara minta dibeliin cookies kelinci. Katanya lo yang tahu tempatnya, kalau nggak ribet sih nanti gue minta tolong banget bawain gitu. Kalau mauuuuu Ra, tunggu lo mendingan. Tapi kalau nggak, ya udah biar gue aja yang nyamperin ke tokonya." Dengan menyelipkan kekehan palsu, Daffa terdengar berbicara sangat hati-hati demi kelangsungan hidupnya dikemudian hari.

"Emang lo di mana sekarang?" tanya Hera yang samar mampu mendengar suara penyiar radio dari head unit mobil Daffa.

"Baru beres nganterin Tiara sekolah. Jadi, kalau dari sini toko kuenya deket apa masih jauh?"

Mendengarnya, Hera yang sedari tadi masih terkantuk-kantuk reflek menegapkan seluruh badannya. Nyeri jarum infus yang menempel pun sampai tak ia rasa karena kepalang sebal.

Leave Out All The RestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang