34. Sekuntum Bunga

130 15 0
                                    

BERULANG kali Hera memijit lembut pergelangan kakinya yang telanjang setelah sepatu hak tinggi itu sudah berhari-hari menjadi penyempurna kecantikannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

BERULANG kali Hera memijit lembut pergelangan kakinya yang telanjang setelah sepatu hak tinggi itu sudah berhari-hari menjadi penyempurna kecantikannya. Semua gaun malam yang telah dipakai kini terlipat rapi meski koper itu masih terbuka menunggu segala tetek bengek keperluannya yang lain menyusul dipacking. Sekujur tubuhnya baru merasakan lelah luar biasa, ia hampir tidak memiliki waktu untuk berleha-leha di tengah banyaknya pertemuan menghadapi sekumpulan orang penting yang memiliki nama besar seperti papanya. 

Hera lekas membalut seluruh tubuhnya dengan selimut. Kasur empuk itu seakan memeluk. Permukaan kulitnya yang dingin perlahan menghangat. Matanyapun sempat terpejam saat di tiap napas, ada aroma parfum pengantar tidur yang memanjakan indera penciumannya.

Sudah lewat empat hari sejak Daffa mengirimkan foto segepok obat yang tidak sengaja ia tinggal di apartemen. Baris demi baris pesan Hera abaikan, panggilan telepon yang lebih mirip teror dari pemuda itu pun sama sekali tak Hera jawab. Hingga akhirnya tiba hari di mana tidak ada sama sekali notifikasi pun yang masuk, entah kenapa malah membuat Hera seketika merinding saat memikirkannya. Sebab ia tahu, bukan Daffa namanya kalau tiba-tiba upayanya terhenti sebelum menemukan jawaban pasti. 

Hera hanya bisa menerka-nerka dan berdoa agar sesampainya nanti di Jakarta, Daffa tetap bodoh dan memilih tidak ambil pusing tentang itu meskipun kecil kemungkinannya.

Endrajanu

Telepon gue kalau udah nggak sibuk ya.

Akhirnya Hera tergerak untuk mengetuk ikon di sudut layar setelah membiarkan pesan Janu tak berbalas sejak dua hari yang lalu.

"Glad to hear you, Ra. How was KL so far?" suara rendah Janu terdengar dari ujung telepon. 

Hera menjawab dengan helaan napas panjang terlebih dahulu. "Nggak ada yang spesial." 

"Capek ya?"

"Beginilah, tapi gue lega akhirnya semua urusan di sini selesai, besok gue balik. Maaf ya, Nu. Gue baru sempet ngabarin."

"It's okay. Ini udah hampir tengah malem dan lo masih sempet nelpon, thank you for still remember me. Besok gue jemput?"

"Nggak sibuk? Gue mungkin bisa landing sore, lo pasti masih kerja." 

"Baguslah, kita bisa sekalian nyari makan malam," Janu menyahut sumringah.

"Kok belum tidur, Nu?" Hera menarik selimut hingga menutupi bahunya yang terbuka. Ia tidur menyamping sambil memandangi jendela kamar hotel itu memajang megah langit malam Kuala Lumpur.

Thinking of you. Deeply.

Ingin sekali kata-kata itu terlontar jujur. Namun Janu mengurungkan niatnya meski jauh di dalam pikirannya memendam banyak pertanyaan tentang keadaan Hera yang sebenarnya. Janu memilih bersikap normal seperti biasa. Karena jika ia bereaksi sebaliknya, bukan tidak mungkin Hera akan mengambil langkah seribu untuk menghindar. Sama seperti yang ia lakukan kepada Dokter Airin.

Leave Out All The RestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang