7. Menit-Menit Akhir

213 11 3
                                    

DAHLIA muncul membawa sekantung penuh belanjaan yang baru saja ia boyong dari minimarket seberang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DAHLIA muncul membawa sekantung penuh belanjaan yang baru saja ia boyong dari minimarket seberang. Jalan Panglima Polim jadi saksi kalau kini ia tergopoh sambil berlari kecil karena tak enak hati dengan seseorang yang sudah menunggunya cukup lama.

Pria itu hanya memangku ke dua tangannya di atas meja. Menatap kosong empat kukusan bambu berisi dimsum yang sepertinya kini telah mendingin. Dahlia jadi merasa bersalah, jam makan malam sudah terlewat. Ditambah lagi pria penyabar itu pasti juga tak kalah lelah selepas melewati rutinitas kerja yang tak mudah.

Dahlia menyapa dengan senyuman. Dahlia pun memulai obrolan dengan permohonan maaf meski Janu sebenarnya tidak mempermasalahkannya sama sekali.

"Maaf ya, Nu. Aku nggak nyangka kalau meetingnya bakal kelar semalem ini. Kamu pasti laper banget ya?"

Janu melepas topi yang ia kenakan, menyibak rambutnya dan menyambut Dahlia dengan tatapan hangat. "It's okay, kamu bawa apaan itu?"

"Biasa, keperluan rumah. Nih aku bawain air mineral."

"Aku udah pesen minum."

"Ya udah, bawa aja kalau gitu," Dahlia menguncir rambutnya yang berantakan. Melepas jaket yang melindunginya dari terpaan angin malam. "Pesen ini aja? Mana kenyang?"

"Mi goreng mau?"

"Mau dong!"

Janu melayangkan padangan ke jalanan. Menyangga dagu sambil berpikir entah sudah berapa kali ia menghabiskan waktunya di sebuah kedai dimsum yang lumayan terkenal di daerah Jakarta selatan itu. Seperti tempat khusus untuknya menyendiri, Janu bisa menjauh dari rutinitas kerja yang menjemukan. Tidak satupun staff atau teman dekatnya yang tahu kalau ia sering datang ke kedai itu. Dan malam ini ia tak menyangka, seseorang yang ia bawa pertama kali adalah mantan kekasihnya sendiri.

Tempatnya memang tersembunyi. Halaman rumah tua bergaya kolonial Belanda itu di sulap si pemilik. Lima meja berjejer, penuh dengan pelanggan yang sedang menikmati menu dimsum andalan. Sementara di bawah kanopi yang diselimuti tanaman berjuntai, ada kukusan besar mengepulkan asap yang aromanya membuat perut semakin lapar.

"Kantor baru kamu gimana, Li? Bakalan betah nggak kayaknya?" tanya Janu sambil menyumpit siomay ayam ke mulutnya.

"Harus betah dong. Ini satu-satunya kesempatan buat membuktikan kalau aku juga bisa kerja di kota besar. Walaupun kerjaan berasa nggak habis-habis, aku menikmati banget kok, Nu," ujar perempuan yang bekerja di sebuah perusahaan periklanan itu. "Kalau jadi, aku akhir bulan ini keluar kota. Asli capek banget, mana belum kelar beberes rumah sejak pindahan lagi!"

"Aku bisa bantu kok."

"Heh?"

"Kapan? Weekend ini aja gimana?" cetus Janu tiba-tiba.

"Nggak, nggak! Terimakasih," selak Dahlia. "Omongan aku jangan semuanya di seriusin, Nu. Aku ini cuma lagi ngomel-ngomel karena capek aja. Lagian banyak kok yang bantuin aku di rumah. Ada OB kantor sama pak security kalau kebetulan dia lagi senggang."

Leave Out All The RestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang