8. Lelah Yang Tak Dirasa

229 10 1
                                    

RUMAH mewah kedua orang tuanya yang terletak di kawasan Gading Serpong Tangerang tidak selalu menjadi tujuan Hera untuk pulang ketika ia menuntaskan aktifitasnya setelah seharian penuh bekerja

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

RUMAH mewah kedua orang tuanya yang terletak di kawasan Gading Serpong Tangerang tidak selalu menjadi tujuan Hera untuk pulang ketika ia menuntaskan aktifitasnya setelah seharian penuh bekerja. Wanita yang sibuk mengiringi langkah sang ayah sebagai pemilik hotel bintang lima di daerah Kemang itu malah memilih tinggal di sebuah unit apartement yang tak jauh dari tempatnya bekerja.

Penyebabnya Hera tidak tahan dengan ganasnya kemacetan TOL Jakarta - Tangerang setiap hari. Baginya banyak sekali waktu yang akan terbuang percuma. Sesampainya di rumahpun nanti, bukanlah tidur nyenyak yang ia rasa, matanya malah terjaga akibat stress karena terlalu lama berjibaku dalam pertarungan crowdednya office hour  ibu kota.

Malam ini ia tak menenteng makan malam yang biasanya selalu di beli sebelum pulang. Sejak tadi Hera kedapatan mengerjapkan matanya berulang kali. Ia berharap rasa pusing di kepalanya sirna saat membuka mata. Namun berapa kalipuni ia melakukannya, kepalanya seakan bertambah berat, berputar-putar sampai sedikit memburamkan padangan.

Hera terhuyung, akan tetapi sebelum tubuh kurusnya membentur sisi koridor apartemen, Daffa sigap menahan. Pemuda itu begitu terkejut sampai-sampai ia menjatuhkan barang bawaan yang berisi bubur ayam untuk makan malam.

"Heh buset, Hera! Kalau bukan karena pesen bokap lo, gue belokin juga lo tadi ke dokter. Udah deh buruan nih mumpung gue masih di sini!"

Hera bersusah payah menahan tubuhnya agar tak ambruk, "Lo udah beli makan belum, Fa? Gue harus makan dulu loh sebelum minum obat."

"Yeeee... Omongan gue kagak di dengerin! Ini apaan Nenek?! Kan lo yang tadi minta mampir ke bubur Barito?" gerutu Daffa sambil memperlihatkan bungkusan di tangannya pada Hera.

"Kok gue lupa ya?" keseimbangan Hera pulih kembali. Ia membuka pintu dengan akses card dari dalam sholder bag nya. "Pusing tau kebanyakan kerjaan!"

"Bang Bian kali yang lo pikirin mulu."

Hera tak peduli dengan tuduhan Daffa. Ia ingin buru-buru mandi agar tubuhnya terasa segar. 

Di dapur, Daffa dengan telaten menyiapkan bubur ayam itu di meja makan. Gelas bening berkuping diambilnya dari laci, lalu sekantung teh melati ia letakan di dalamnya sebelum kucuran air panas mengepul dari dispenser. Tak berselang lama, aroma menenangkan dari teh itu menyebar ke seluruh sudut apartemen Hera.

Daffa sebenarnya tidak ingat kapan pastinya sejak ia sering di hubungi ayah Hera seperti beberapa saat lalu. Mungkin semenjak hubungan Hera dan Sabian memburuk? Ayah Hera ternyata tahu kalau di saat-saat penting, Sabian tidak bisa lagi menemani Hera. Urusan mengantar jemput Hera ke airport, tidak jarang malah menjadi tugas Daffa. Dan di saat ayah Hera menyadari anak semata wayangnya itu kelelahan, hanya Daffa yang jadi satu-satunya penolong.

Seperti malam ini, saat Daffa sudah bersiap menuju alam mimpi berselimutkan gaji yang baru cair, tiba-tiba panggilan itu datang. Mana bisa ia menolak?

"Nak Daffa, tolong temani Hera ya. Sepertinya kondisi dia nggak terlalu baik, situasinya juga nggak akan nyaman kalau Om yang memaksa menemani dia pulang. Dia sangat keras kepala."

Leave Out All The RestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang