27. Sejauh Mungkin

141 13 2
                                    

SABIAN tidak yakin ini mimpi atau kenyataan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

SABIAN tidak yakin ini mimpi atau kenyataan. Pandangannya kabur serta kepalanya nyeri tak tertahan. Dua telapak tangannya berkeringat melekat kencang di kemudi, lalu di setiap tarikan napasnya, ia merasakan sesuatu yang tajam menusuk dadanya begitu dalam. Walau terasa sangat pegal, dengan tersengal Sabian berusaha membelalakan mata legamnya. Mencoba mencari tahu hiruk pikuk apa yang kini membendung jalanan yang dilalui mobil double cabinnya.

Teriakan itu perlahan merambat ke telinga. Kepulan asap muncul dari dasar jurang di kiri jalan. Orang-orang berlarian ketakutan, beberapa berjalan tergopoh lalu ambruk tak peduli beralaskan aspal ataupun rumput liar. Kerumunan melebar, tak sampai beberapa lama, warga sekitar tanpa pikir panjang terjun ke tempat bus pariwisata itu ringsek setelah mengalami rem blong di jalan menurun.

DUK...DUK...DUK...

Sabian hampir loncat dari kursi pengemudi. Kaca jendelanya digedor oleh seorang pemuda lokal yang mencoba menyadarkannya dari kekacauan ini. Saat itu jantungnya seperti ditiupkan nyawa kembali, Sabian lalu sadar. Semua yang sedang ia saksikan ini bukanlah potongan dari  mimpi buruknya.

"BANG... BANG!!! KELUAR BANG!!! ASAP, ADA ASAP!!"

Kemudian lagi-lagi Sabian tak mengerti. Kenapa bisa mobil box putih yang tepat di belakangnya terlihat begitu mepet? Parahnya lagi, seluruh kacanya sudah hancur, Sabian tidak bisa melihat driver yang ada di dalamnya karena asap sudah memenuhi bagian depan mobil itu.

Sabian kembali pada realita. Ia buru-buru memanuverkan kendaraannya ke halaman parkir rumah makan di seberang jalan. Setengah melompat, ia turun dari mobilnya yang memiliki ground clearence lumayan tinggi. Sekali lagi, dadanya nyeri sekali, sambil menahannya ia mencoba mengitari mobil untuk memeriksa kerusakan macam apa sampai membuatnya hilang kesadaran beberapa detik.

Rear towing barnya patah, pintunya belakangnya penyok meski tidak terlalu parah. Sementara gill depannya terlihat tak presisi. Sabian langsung tahu ini tabrakan beruntun. Lalu bus itu, kenapa bisa terjerembab ke jurang? Sabian menahan sesak, ia mengerjapkan matanya berulang kali. Sejauh memandang, ia tidak dapat menemukan Andreas. Siapalah itu, siapapun member DCC. Sabian tak bisa menemukannya di mana-mana. 

Yang ia dapati malah mobil box putih yang tadinya berada di belakangnya kini sudah dilalap api. Di sinilah ia menyesal sudah berangkat paling terakhir dari konvoi yang pagi itu sudah kembali menuju Jakarta. Dengan alasan akan mampir ke seorang kenalannya, Sabian melalui grup chat berkata akan menyusul segera di rest area chek point pertama club begitu urusannya selesai.

Ia mulai panik, saat teriakan kesakitan semakin intens. Hampir saja Sabian ambruk, akan tetapi seorang wanita paruh baya menepuk pundaknya dengan tatapan penuh cemas.

"Mas, minum dulu," ucapnya dengan suara gemetar. Segelas air mineralpun tak lupa di sodorkan pada Sabian. "Duduk di sini ya, tunggu bantuan datang."

"Ini ada apa ya?" Sabian bergumam, masih mencerna kacaunya situasi.

Leave Out All The RestTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang