Lima tahun berlalu seharusnya tidaklah sulit bagi seorang Sabian untuk mencari pengganti sang istri yang telah pergi mengkhianatinya begitu saja. Di usia yang hampir mendekati kepala empat, wajah tampannya masih bisa sesekali membius kaum hawa yang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"SI BRENGSEK... Gue kira dia pulang dari siang, taunya malah nyangkut di rumah Dahlia!"
Daffa menggerutu setelah Sabian memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak. Benaknya ingin segera melayangkan kalimat-kalimat umpatan nanti saat batang hidung Bos-nya itu tampak. Sebegitu enaknya Sabian memasrahkan urusan bengkel padanya dari tengah hari, padahal jelas-jelas sabtu merupakan salah satu hari dengan traffic tertinggi yang mengharuskan seluruh staff stand by. Namun apalah daya, pagi tadi setelah menyapanya singkat, Daffa tak bisa protes saat Sabian pergi begitu saja tanpa memberi tahu kapan kembalinya.
Badannya masih lengket berkeringat. Mungkin jika tubuhnya tak berbalut wearpack, kaos biru terang yang Daffa kenakan malam itu bisa saja bernodakan oli di segala sisinya. Celana pendek hitamnya jadi tanda kalau beberapa jam yang lalu, pemuda itu bergerak terbirit tak sempat mandi karena meluncur menuju komplek perumahan Sabian. Tepat kala panggilan Oma membawanya ke tempatnya sekarang.
"Dahlia lagi lo bilang?"
Hera membuat Daffa kaget bukan kepalang. Pasalnya kebetulan suasana IGD Rumah Sakit itu sedang sepi. Lima baris kursi panjang yang biasa di penuhi pasien, hanya terisi sepertiganya. Rata-rata mereka adalah kerabat atau keluarga yang sedang menunggu para pasien rawat inap seperti Daffa. Dengan gugup, pemuda itu lalu reflek berdiri menyamakan posisinya dengan Hera yang menatapnya sengak.
"Baru bisa tidur, udah nggak ngerengek lagi sekarang. Mungkin kecapean karena dari kemaren nggak bisa tidur nyenyak. Sakit jarum infusnya pun sampe udah nggak dirasa lagi sama dia," jelas Hera. Perempuan itu pun tak lantas terkecoh oleh niat Daffa yang mengalihkan obrolan, sehingga pertanyaan di awal tadi pun kembali ia lontarkan, "Sabian lagi sama Dahlia?"
Daffa yang teringat Hera sudah mengabaikannya belakangan ini lalu tersenyum lebar. Dua matanya sampai menyipit canggung berharap agar Hera tidak terbawa emosi malam ini. "Nanti jangan pake berantem dong, ini kan rumah sakit. Nggak enak sama pasien lain tau..."
"Siapa juga yang mau berantem?"
"Yaaaa kan itu yang selalu kalian berdua lakuin kalau ketemu. Tunda dulu ya Ra, pikirin Tiara aja malam ini. Gue sebagai Om, ngeliat dia sakit begitu tuh hati kayak ikut berasa sakit. Mana Oma udah tua, Bang Sabian gila kerja, emaknya... Hadeh, udah ilang ditelan bumi. Siapa lagi yang bisa peduli selain kita berdua?"
"Kayak Sabian peduli aja. Lo yang anak buahnya aja ditinggalin nggak jelas seharian kan? Emang bajingan sih dia. Selalu berlindung dari image kerja demi anak. Dia nggak sadar kalau udah jarang nyempetin waktu buat Tiara dengan alasan bengkel lagi, bengkeeel mulu. Basi tau!"
Hera bersedekap. Ia bersandar pada dinding kamar perawatan Tiara. Setelah melongok memastikan Tiara tertidur pulas lewat pintu geser, matanya lalu mengarah pada lorong yang benar-benar kosong. Tak di dapatinya segera sosok Sabian. Dirinya benar-benar marah, sangat-sangat marah dan murka kala ia tahu kalau Dahlia lagi yang jadi alasannya.