Lima tahun berlalu seharusnya tidaklah sulit bagi seorang Sabian untuk mencari pengganti sang istri yang telah pergi mengkhianatinya begitu saja. Di usia yang hampir mendekati kepala empat, wajah tampannya masih bisa sesekali membius kaum hawa yang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
KEMACETAN Jakarta kala jumat sore merupakan kengerian yang tak dapat dihindari bagi orang-orang yang bekerja di kota tanpa tidur itu. Antrian mengular kendaraan tak bergerak hampir merata di segala penjuru. Bising suara mesin serta pengapnya udara sudah tidak lagi terasa mengganggu karena mereka dipaksa terbiasa dengan keadaan mencekik semacam ini setiap waktu. Bagi mereka yang terpenting adalah soal pulang ke rumah dengan selamat dan berkumpul dengan orang terkasih, lalu mengistirahatkan diri menikmati akhir pekan sebagai penghilang penat setelah bekerja.
Dari lantai tujuh Janu berdiri, ia bisa melihat jalanan kini sudah berubah menjadi merah terang. Padatnya kendaraan yang hendak memasuki gerbang TOL seakan serempak menginjak pedal dan membuat lampu remnya menyala. Berkedip berulang kali, terus menerus bersamaan menguji kesabaran para pengendaranya. Sedangkan langit jingga yang ia terawang perlahan kini berubah gelap, pertanda malam sudah mulai berkuasa.
"Ini serius mau gue abisin aja?"
Suara Hera membuat Janu menoleh. Box makanan berisi bolu karamel yang ia bawa dari kafe rupanya lenyap beberapa slice. Begitu juga latte yang jadi kawannya, Hera terlihat berseri-seri.
"Suka? Besok biar staff gue anterin ke sini buat lo," Janu mengulas senyum, ia duduk memandangi Hera yang saat ini sepertinya hanya peduli soal makanan.
Entah sejak kapan Hera dan Janu jadi kerap menunda waktu pulang dengan cara saling bertemu. Mencoba makanan baru tak jauh dari area kantor, menikmati segelas kopi, atau berkeliling Grand Lucky membeli kebutuhan sehari-hari. Seperti saat ini, usai Janu memberi arahan pada timnya, ia langsung menuju hotel di mana Hera bekerja.
Tidak lupa ia membawa minuman kesukaan Hera yang ada di kafe lantai satu kantornya. Dan juga sekotak bolu karamel, menu baru yang langsung melejit menjadi best seller.
"Jangan besok. Gue ke KL nemenin Papa hadir di gathering direksi hotel se-Asia Pasifik." Hera menarik selembar tisu di atas meja, mengusap bibir merahnya tanpa membuat warnanya pudar sedikitpun. "Males banget sebenernya, mana semingguan lagi."
"Flight jam berapa?" wajah Janu sedikit kecewa karena merasa terlambat mengetahu hal ini.
Sebelum manjawab alis coklat Hera terangkat, lalu ia membiarkan seteguk kopi melegakan tenggorokannya. "Udah pasti nggak ambil pagi. Karena besok gue mau bangun siang."
Sejenak Janu diam seperti membaca situasi. Setelah dirasa rangkaian jadwal sidaknya besok aman, kemudian ia dengan murah hati menawarkan diri. "Gue anterin ke airport? Atau...?"
Hera meringis, "gue flight bareng Papa, jadi pasti besok supir yang jemput gue ke apart.Thank you loh udah nawarin."
"Oh, baguslah kalau begitu."
Pria yang memiliki rahang tegas itu duduk tenang, menggoyangkan gelas kopi yang permukaan gelasnya sudah berembun. Separuh keningnya tertutup helaian rambutnya yang gelap, sedangkan mata Janu menyembunyikan kekhawatiran yang sekeras apapun ia berusaha menutupi, Hera selalu dapat mengartikannya. Ketenangan yang kerap jadi citranya, bagi Hera menjadi berbanding terbalik karena keduanya sudah saling kenal dalam waktu tak singkat.