Lima tahun berlalu seharusnya tidaklah sulit bagi seorang Sabian untuk mencari pengganti sang istri yang telah pergi mengkhianatinya begitu saja. Di usia yang hampir mendekati kepala empat, wajah tampannya masih bisa sesekali membius kaum hawa yang...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
PEMANTIK kricket biru usang terpaksa menjadi kawan Sabian akhir-akhir ini setelah lighter emas kesayangannya raib akibat kecerobohannya sendiri. Seingatnya, lighter bermerk Zippo itu masih menemaninya ketika touring, kemudian ia tidak menggunakannya lagi setelah kekacauan yang membuatnya sempat terguncang itu berlalu.
Mungkin terjatuh di tempat kejadian, atau mungkin Sabian meninggalkannya di suatu tempat yang asing. Sebab jika benda itu tertinggal di basecamp DCC, sudah pasti kembali pada pemiliknya karena hanya Sabian yang masih mengenakan lighter tua itu.
Sabian menyalakan monitor di meja kerjanya. Seperti biasa, bengkel masih sepi karena jam operasional baru mulai satu jam lagi. Ia tidak jarang datang lebih awal karena selepas mengantar Tiara ke sekolah, Sabian memilih meluncur langsung ke bengkel dan menyeduh kopi di ruang kerjanya seperti sekarang.
"Ngopi juga Bang?"
Lagu Hotel California dari The Eagles yang sejak tadi diputar samar sontak kalah suara ketika Daffa muncul membawa cangkir kosong. Pemuda riang itu sudah mengenakan wearpack, rambut hitamnya pun tersisir rapi. Bahkan sekelebatan, Sabian bisa mencium parfum khas Daffa menyambar hidungnya.
"Kepagian apa nggak tidur lo?" tanya Sabian curiga mendapati anak buahnya yang kerap datang mepet itu.
Daffa meletakan gelas tepat di bawah kucuran dispenser, menyeduh kopi sachet yang ia bawa dari lantai satu. "Tempat Hera kan nggak jauh dari sini, jadi pagi ini setidaknya gue nggak kejebak macet di Meruya."
"Tempat Hera?" Sabian urung menyalakan rokok, kursi yang ia duduki berputar mengarah sepenuhnya ke Daffa.
"He..em..." angguk Daffa seraya meniup kopinya.
"Ada perlu apa lo pagi-pagi dari sana?"
"Lah, gue nginep. Kerajinan banget gue nyamperin si nenek pagi buta."
Sabian semakin penasaran. Ia tahu kalau Daffa sudah menginap di apartement Hera, biasanya ada hal urgensi yang melibatkan pemuda itu harus hadir. Mengejar penerbangan pagi misalnya, Hera sering sekali meminta Daffa untuk mengantarnya ke bandara.
"Kerjaan ke luar kota?"
"Nggak kok, cuma semalem gue males balik aja. Terus nemenin Hera makan bubur Barito deh, biasaaa..."
Sabian berdehem, lalu membakar rokoknya dan bertanya setenang mungkin. "Terus?"
"Hah?" kening Daffa berkerut menatap Sabian. Pemuda itu duduk bersila di sofa, bibirnya mengatup rapat-rapat, menahan tawa karena wajah penasaran Bos nya begitu kentara.
"Bener kan dugaan gue? Dia punya cowok?"
"Gue tanya nggak ngaku, Bang. Tapi cowok yang lo maksud itu ganteng sih, waktu itu kebetulan ketemu pas di nikahan temen kuliah gue. Cocoklah, sama kayak gue ngeliat lo jalan sama Dahlia."