part 6.

19.7K 1.8K 10
                                    

                    🌈Happy Reading🌈

Semua masih terdiam membisu tak tahu harus berbicara apa, keempat teman Lorenzo dan gadis itu kini duduk satu meja dengannya.
Bayi besar ini masih saja memeluknya dari samping dan menaruh wajah di ceruk leher miliknya.

Sungguh ia merasa sedikit pegal tapi ia juga tidak merasa terganggu, mungkin ini perasaan Laurencia yang asli pada Lorenzo. Sesekali ia akan membelai kepalanya.

"Enzo kamu harus makan." ujarku menggeser sepiring nasi goreng kehadapannya. Yang ia balas dengan gelengan kepala.

"Kau harus makan atau aku akan pergi lagi?" ancamku.

Aku pun mulai menyendokkan nasi goreng itu yang langsung disambut olehnya dengan ekspresi yang tertekan. Aku ingin tertawa tapi bodoamat untuk sekarang.

"Kalian pesan makanan jugalah, biar aku yang bayar." ujarku pada teman-teman Lorenzo. Ia sedikit menatap protes tapi kuacuhkan.

"Asikk rezeki anak sholeh." ujar Banu.

"Boleh apa aja nih?" tanya John tak kalah senang dan aku hanya mengangguk saja karena sibuk menyuapi bayi besar ini.

"Makasih banyak ya neng, bro mau apaan nih?" tanya John.

"Samain aja biar cepet." ujar Alvin.

John dan Banu pun pergi meninggalkan mereka. Semuanya tidak ada yang bersuara hingga. "Ra kamu gak masuk kelas ya, kok udah dikantin aja sih." tanya Kanaya.

"Ya suka-suka gue dong." jawab Rara.

"Kamu kok jawabnya gitu aku kan cuma nanya. Lagian kamu ke sekolah itu harusnya belajar bukan bolos kayak gini." cicit Kanaya.

"Lo bisa ngga sih jawab yang bener! Aya itu nanya baik-baik sama lo!" sentak Alvin.

"Ya lagian kenapa sok nanya gue? Ngga penting tahu ngga!" Rara pun mulai terpancing emosi mendengar ucapan kakak kandungnya sendiri.

"Kamu juga siapanya Lorenzo? Aku kan pacarnya." ujar Aya.

"Penting gitu gue jawab pertanyaan lo itu?" tanyaku padanya.

"Lo tinggal jawab aja apa susahnya sih? Murid baru aja sok banget." ujar Alvin.

"Jaga mulut lo sebelum gue hajar." Lorenzo menatap tajam Alvin.

"Zo, lo juga apa-apaan maen peluk cewek lain didepan pacar lo sendiri, mana suap-suapan ngga ngehargain perasaan Aya banget." ujar Alvin.

"Gue bilang tutup mulut lo Vin." nada suara Lorenzo semakin dalam penuh peringatan.

'Aseek seru nih bos' batinku terkikik.

"Gara-gara kamu pacar aku berantem sama temennya! Kamu jahat!" Aya sedikit meninggikan suaranya hingga beberapa orang mulai melihat kearah mereka.

"Ehhh bicth, lo jangan ngomong sembarangan!" sentak Rara.

"Kenapa kamu bentak aku? Kan emang bener dia tuh gak baik sama kayak kamu suka bikin Lion king berantem." Aya semakin memanas-manasi suasana.

"Lo emang minta gue jahit tuh mulut biar ngga fitnah mulu." Rara semakin emosi namun ditahan oleh Ernest yang masih santai meminum kopi kalengnya.

"Kamu jahat! Kamu bikin Lion king berantem!" ujar Aya menunjukku.

"Sialan! Berantem sini lo sama gue!" Ernest membiarkan Rara maju dan menjambak kuat rambut Aya.

Gadis itu hanya menangis dan teriak saat Rara melawan dengan beringas hingga ia ditarik oleh seorang pemuda.

Plaaakkk

Suara tamparan begitu memekakkan telinga, bahkan murid yang berada disana repleks memegang pipi mereka saat mendengarnya.

Rara terjerembab seraya memegang pipi kirinya yang ditampar.
Oke sudah cukup drama ini mari kita akhiri.

Aku berdiri dari kursiku dan berjalan mendekati Rara yang masih terduduk dilantai. Ernest memasangkan hoodie miliknya pada gadis itu karena setelah ditampar ia juga disiram oleh jus jeruk yang tentu saja dalaman yang ia kenakan terlihat dibalik seragamnya yang basah.

Aku membelai rambutnya yang basah dan menuntunnya agar bangun, terlihat matanya berkaca-kaca. Kuhela nafas sesaat untuk meredam gejolak emosi yang membara.

"Ra, lo darimana aja sih kita cariin dari tadi juga." ujar seorang gadis berbando telinga kucing.

"Ya ampun kok bisa kayak gini sih? lo diapain sama tuh setan biar gue tampol." ujar yang lainnya

"Kalian temannya Rara?" tanyaku mengalihkan kedua pandangan mereka.

"I-iya kami temannya. Eh kok mirip peri ya Jane." ujar Erlin.

"Ihh malu-maluin." senggol Jane.

"Bisa kalian bawa Rara ke rumah sakit? Kalau ditanya pak satpam bilang aja disuruh Cia." pesanku.

Sebelum mereka kembali bertanya "tolong ya" ujarku dan dibalas anggukkan.

"Kamu kerumah sakit ya, nanti aku kesana juga kok." namun ia menggeleng dan memegang erat tanganku.

"Nurut ya." iapun mengangguk namun saat akan berjalan ia meringis pelan, Ernest tanpa banyak kata membawa Rara dengan bridal style yang diikuti oleh kedua temannya.

Kuhela nafas sejenak dan saat akan pergi sebuah kalimat memuakkan kembali terdengar.

"Ngapain sih malah belain tuh jalang? Lagian yang salah tuh kalian berdua! Yang satu sok ngartis banget ditanya aja ngga dijawab, yang satunya lagi kelakuan udah ngga bener main ngehajar cewek yang ngga salah apa-apa. Anak baru sok belagu." ujar Alvin.

Ia masih mendekap Aya yang kondisinya cukup berantakan karena Rara.
Tanpa aba-aba tanganku dengan cepat menjambak rambut gadis itu dan menendang Alvin agar melepas dekapannya.

Ia jatuh tersungkur hingga menabrak kursi dan meja. Kutampar Aya hingga ia terjerembab dan menyiramnya dengan jus seperti yang dilakukan Alvin.

Kuseret kursi kayu yang berada disekitar dan kuhantamkan ke lantai didekat tempat ia terjatuh hingga hancur berkeping-keping.
Banyak murid yang menjerit histeris.

Setelah itu aku pergi meninggalkan mereka semua dengan bersenandung kecil namun yang didengar mereka seperti alunan nada mengerikan. Oh ini sangat menguras tenaga dan aku butuh yang manis-manis.

Saat tiba didepan pintu kantin kuhentikan langkahku seraya berkata " jangan pulang terlambat Lorenzo."

Suasana kantin masih saja hening hingga hanya terdengar suara isak tangis dari seorang gadis yang masih saja terduduk dilantai dengan kondisi yang mengenaskan.

Bel tanda pelajaran dimulai pun tak terasa kembali bergema diseluruh area sekolah. Mereka pun memilih untuk beranjak meninggalkan kantin dan menuju kelas masing-masing.

Banu menolong Kanaya untuk berdiri sementara John membantu Alvin.
Axel? Oh ia tidak sedikit pun beranjsk dari kursinya, karena sejak awal ia tidak menyukai gadis disamping temannya itu.

Lorenzo sendiri masih saja diam namun tangannya mengepal dengan kuat hingga terlihat urat yang menonjol di kedua sisinya.

Diam-diam Kanaya bersorak senang karena kedua gadis itu pasti akan diberi pelajaran oleh mereka berlima. Ia tidak sabar untuk melihat wajah-wajah yang akan bersujud minta maaf padanya.

Namun pemikiran Kanaya justru berbanding terbalik, karena pemuda itu merasa kesal dengan perbuatan kekasih dan temannya itu yang membuat tantenya pergi begitu saja.

Ingin sekali ia melampiaskan kekesalannya itu pada Alvin namun kondisi pemuda itupun tak kalah memprihatinkan.
Tantenya emang sangat pandai dalam ilmu beladiri bahkan raut emosinya saja sulit ditebak.

Dengan sekali tendangan saja cukup membuat Alvin kepayahan dalam menahan rasa sakitnya. Padahal pemuda itu adalah sosok yang ditakuti diarea tawuran setelah ia dan Axel. Tapi sekarang? Ia seakan menjadi pecundang.

Dalam hati ia berharap semoga saja tantenya itu tidak akan pergi meninggalkannya kembali.

Laurencia.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang