🌈Happy Reading🌈
Suasana di meja makan terasa sangat dingin dan mencekam, mata mereka tak henti-hentinya saling melempar tatapan tajam pada satu sama lain.
Percakapan mereka di ruang tamu membuat acara makan malam ini terasa sangat berat, ya terutama untuk para pekerja yang merasa sulit bernapas karena tekanan yang diberikan oleh anggota keluarga tersebut.
Suara ketukan hak sepatu mengalihkan pandangan semua orang yang berada disana pada pintu yang terbuka lebar.
Seorang gadis dengan balutan dres biru gelap nampak berjalan mendekati meja makan , diiringi dengan senyuman manisnya serta sorot mata yang menenangkan.
"Selamat malam semuanya." sapa gadis tersebut saat ia tiba tepat dihadapan mereka semua.
"Tidak ada yang membalas sapaanku, kalian jahat sekali." ujarnya kembali dengan senyuman yang kini berubah sinis.
Maid yang berada didekatnya lantas segera menarik kursi, memberi ruang agar gadis itu dapat duduk.
Yang lainnya pun tak kalah cepat segera menghidangkan menu makan malam untuknya."Kamu masih hidup, nak?" Lauren, yang hendak meminum segelas air mendadak menghentikan aktifitasnya dan beralih menatap paman serta anggota keluarga lainnya dengan tatapan datar.
"Apa kalian menginginkan aku mati?" balas Lauren dingin.
"Sepertinya aku tidak akan semudah itu untuk mati paman, kamu mendadak pikun atau bagaimana?" Zergan, yang berada di ruangan tersebut tertawa puas mendapati sang papa yang tidak dapat menjawab pertanyaan saudari sepupunya itu.
"Bisakah kita makan sekarang? Ada hal yang ingin kubicarakan pada kalian semua." ujar Lauren tersenyum kecil pada kakeknya yang disahuti dengan anggukan.
Keluarga besar itu kini makan malam dengan suasana yang tenang, karena mereka sadar bahwa tekanan yang berasal dari Laurencia cukup untuk membuat mereka semua tertekan.
Jadi lebih baik mengalah pada nona muda dari keluarga besar Smith ini, daripada hal yang lebih buruk kembali terjadi.
Lauren sangat bersikap tenang dan anggun, tidak terkecuali seluruh anggota keluarga yang merasa sangat terkejut, senang, bahagia, terharu dan segala perasaan yang semakin berkecamuk hebat pada hati mereka masing-masing saat melihat gadis itu benar dan nyata berada diantara mereka semua.
Waktu berlalu begitu saja hingga akhirnya semua kembali berkumpul di ruang keluarga atas permintaan gadis kecil mereka yang telah kembali pulang.
Lorenzo hanya bisa memeluk dan menaruh wajahnya pada ceruk leher sang tante, ia bahagia bahwa orang yang ia sayangi masih hidup. Nampak sekilas jejak air mata yang telah mengering pada pemuda tersebut.
Katakanlah ia cengeng atau apapun itu, karena rasa senangnya terlalu membuncah hebat hingga membuat liquid tersebut tumpah menuruni pipinya.
Sementara Laurencia tidak banyak melakukan apa-apa, ia hanya sibuk mengelus sayang kepala sang ponakan yang berada di pundak kecilnya.
"Seperti biasa ini rencana mereka semua untuk membunuhku, tapi sungguh aku tidak mengerti mengapa mereka ingin sekali melenyapkanku dari dunia ini? Tidak bisakah mereka menghabisiku bersama orang tuaku dulu? Atau apa? Aku sama sekali tidak mengerti." ujar Lauren dengan tenang.
"Aku sudah membunuh lima orang dari mereka, kini hanya tersisa..."
"Tunggu, bukankah kakak hanya membunuh tiga diantara mereka saat di gedung amberly tempo hari, kenapa jadi lima?" ujar Louis memotong ucapan Laurencia dengan raut terkejut.
"Apakah aku harus selalu memberitahu kalian apa rencanaku? Selama aku masih hidup dengan dendam ini, kalian semua tidak usah khawatir, karena aku akan menjaga kalian semua walau nyawaku taruhannya." terang Lauren dengan acuh.
"Kamu selalu saja membicarakan dendam dan dendam saja, memang apa yang sudah kamu lakukan selama ini selain membunuh lima orang itu? Bukankah kamu selalu bersembunyi dan disembunyikan oleh saudaramu." ujar Natasha pada cucu perempuannya itu.
"Haruskah aku memberitahu kalian apa yang sudah kulakukan walau tidak menunjukkan diri? Serendah itukah aku dimatamu nenek?" balas Lauren dengan raut datar.
Suasana ruangan tersebut mendadak kembali mendingin, dan Laurencia benci hal itu walau ia sendiri menyukai ketenangan.
"Aku pergi." ujar Lauren seraya bangkit dari duduknya, namun Zergan menodongkan senjata tepat disamping kepalanya.
"Duduklah kelinci manis atau kutebak kepalamu itu agar otakmu berceceran dan bisa berpikir dengan baik." sementara anggota keluarga lain memandang dengan tegang adegan tersebut.
Gadis itu berbalik menatap saudara sepupunya itu dan berjalan mendekat hingga ujung senjata itu tepat berada didahinya.
Zergan semakin tersenyum manis melihat hal tersebut dan dengan mudahnya menarik pelatuk hingga terdengar suara tembakkan yang memekakkan telinga.
Para wanita yang ada di ruangan itu menjerit ketakutan seraya menutup mata, sementara para pria segera menarik senjata mereka dan dihadapkan pada pemuda yang masih saja tersenyum.
"Aku baik-baik saja kenapa kalian berlaku seperti itu?" ujar Lauren dengan tenang serta raut datarnya yang khas.
Yap, senjata yang ditembakkan oleh Zergan adalah senjata kosong tanpa peluru. Ia lantas tertawa melihat reaksi keluarga besar itu yang menurutnya sangat lucu.
"Nenekku tersayang sekarang kamu dapat melihat bahwa aku, Zefrano Zergan Smith cucu pertamamu memiliki ketidakwarasan di pikirannya, memangnya kalian pikir aku pergi meninggalkan kalian karena apa?" kekehnya.
"Karena aku tidak ingin kalian melihat jika emosiku yang tidak stabil ini mengganggu kalian, aku tidak ingin mendadak dapat membunuh anggota keluarga ku sendiri. Maka dari itu aku tidak pernah menggunakan nama Smith saat diluar sana." kata-kata yang keluar darinya semakin lama semakin dingin.
"Nenek apa kamu juga tahu alasan sebenarnya Laurencia pergi keluar negeri?" tanyanya.
"Tentu saja untuk menata kehidupannya kembali, bukan begitu tante." sahut Lorenzo seraya menggenggam tangan gadis tersebut.
"Hahaha...tentu saja tidak keponakan. Ia pergi karena ia sama sepertiku nak, ia tidak waras dan kalian semua tertipu dengan wajahnya yang selalu ceria maupun seperti saat ini dingin dan datar." jawabnya.
"Meskipun kami tidak pernah menunjukkan apa yang kami lakukan, namun jelas kakek mengetahui semuanya nenek, kami selalu memberikan informasi apapun padanya." kini Laurencia pun ikut bersuara.
"Aku tahu kalian semua memiliki banyak pertanyaan apa, mengapa, bagaimana semua ini terjadi, semua itu akan terjawab jika kalian sendiri yang membaca semua informasi yang kami berikan pada kakek." setelah ia berkata seperti itu, datang beberapa maid membawa setumpuk berkas yang memang sengaja dipersiapkan oleh si kepala keluarga.
"Aku tidak ingin lagi banyak berbicara, aku pamit." Laurencia pun pergi dari tempat tersebut diikuti Zergan, Ernest, Louis serta si sok sibuk Damarion.
Hari ini sungguh sangat melelahkan untuknya, namun hari yang panjang masih menantinya didepan sana. Walaupun panjang ia tetap saja diburu oleh waktu sebelum yang ia khawatirkan terjadi.
Kali ini ia tidak akan gagal dalam melindungi apa yang seharusnya tetap terjaga dengan baik-baik saja.
----------------------------------------------------------------------
Up tengah malam.
Terimakasih dan selamat beristirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Laurencia.
General FictionLaura inggrid tidak pernah menyangka bahwa ia masuk kedalam novel "Cahaya untuk Lorenzo" yang sangat klise dengan alur kisah cinta antara pemuda dingin dan gadis baik hati serta polos. tentu saja di setiap cerita akan selalu ada karakter antagonis y...