14. harga diri dan rasa malu

560 136 33
                                    

Happy reading~~
Typo!!!

.
.

Pelayan dirumah ini hampir tak terhitung jumlahnya namun jevan hanya ingin Lily seorang untuk membereskan kekacauan kamar yang dihancurkan tanpa perasaan. Beruntunglah Lily sudah terbiasa melakukan hal seperti itu saat dirumah ayahnya dulu.

Lily menyeret sofa single yang terbalik disudut ruang lalu meletakkannya ditempat semula. Ia menatap jevan yang sedari tadi diam membisu, tanpa melepas pandangan.
"Sini, kau bisa duduk disini selama aku membersihkan kamar"

Untuk kali ini jevan menurut, melangkah enggan kearah sofa lalu duduk dengan angkuh. Ia palingkan wajah kemudian berkata. "Kenapa kau kembali?" Itu pertanyaan yang sama yang kelima kali, yang keluar dari mulut jevan.

Lily hanya tersenyum kecil, melangkah kearah pintu. Sebelum menyentuh gagang pintu tiba tiba jevan berteriak. "Aku hanya bertanya, kenapa kau langsung pergi?!..."

"Hem?... Aku hanya ingin mengambil sesuatu didapur sebentar"

Wajah yang terlihat angkuh itu sontak memerah, memalingkan wajah malu dan berdecih sinis untuk menghilangkan rasa gugup. "Ya sudah, pergi sana... Jangan kembali kalau bisa"

"Tenang saja, aku pasti kembali" sahut Lily sedikit menggoda jevan yang kembali berdecih. "Kau akan mati jika tak kembali" gumam jevan setelah Lily hilang dibalik pintu.

Ia terdiam selama beberapa menit. kedua kakinya tak berhenti bergerak cemas, terus menatap pintu yang tak kunjung terbuka. Sudah lima menit gadis itu keluar dan belum juga kembali, membuat jevan gelisah, namun enggan untuk keluar. Bagaimana jika saat ia keluar akan berpapasan dengan Lily? Bukankah itu memalukan?. Tapi, bagaimana jika gadis itu pergi dan tak kembali?... Pikirannya berkecamuk. Ragu, antara keluar untuk memeriksa dengan menahan rasa malu atau tetap diam disini untuk menjaga harga diri.

Sial umpatnya dalam hati seiring berdiri hendak melangkah kearah pintu namun dengan cepat kembali duduk ditempat semula ketika mendengar suara pintu terbuka lalu timbullah seseorang yang menjadi faktor utama atas sikap anehnya kali ini. Lily masuk membawa nampan berisi secangkir teh dan kotak p3k. Melangkah dengan hati hati menghampirinya. "Kau bisa pegang ini dulu sebentar?"

Dengan wajah bingung jevan menahan nampan dipangkuannya, sementara Lily menyeret meja kecil dan meletakkannya tepat dihadapan jevan. Mengambil kembali nampan lalu meletakkan secangkir teh diatas meja. "Ini teh untukmu... dan ulurkan tanganmu" gadis itu berucap tanpa menoleh, sibuk membuka kotak p3k. "Aku bisa membersihkan kamar dengan tenang setelah mengobati lukamu" tangan kirinya menengadah meminta jevan meletakkan telapak tangan yang terluka diatas telapak tangannya.

Biasanya jevan akan menolak dengan kata kata kasar namun kali ini hanya berdecih, terlihat enggan tapi mau.

Lily tersenyum kecil. Malam kali ini Lily lebih banyak tersenyum dari pada menangis.

Ia menggenggam lembut punggung tangan jevan, menatap nanar luka ditelapak tangan yang penuh dengan bekas luka, lalu mendongak menatap jevan. "Aku baru sadar, Apa kau memang suka melukai tanganmu? Hampir tidak ada cela. Semua kulit tanganmu dipenuhi bekas luka"

Jevan diam, menatap kearah lain, menopang dagu tak peduli. Merasa diabaikan, Lily memilih melanjutkan pengobatan.

Jevan sedikit tersentak saat merasakan sesuatu yang sejuk menyentuh lukanya, disusul tiupan nafas yang terasa sedikit hangat. Rasa sejuk dan hangat menyatu, menyentuh lembut lukanya. Karena penasaran, manik matanya bergerak, melirik Lily dibawahnya. Gadis itu dengan telaten meniup lukanya untuk mengurangi rasa sakit. Padahal, meskipun tak melakukan itu, luka itu sama sekali tidak sakit.

Ditengah tengah tiupannya, Lily menatap jevan. Sebenarnya hanya ingin melihat bagaimana reaksi yang dibuat jevan tapi tatapan keduanya malah saling bertemu. Jevan yang merasa terciduk sontak memalingkan wajah, sementara Lily terkekeh kecil. Lucu pikirnya.

Serupa Tapi Tak SamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang