A L A M 5

1.7K 195 5
                                    

Mata hijau emerald itu mengamati sosok yang masuk ke dalam kamar yang gelap gulita. Saat lampu dinyalakan oleh sang pemilik, Leonor hampir terjungkal melihat manusia tak diundang sedang duduk santai di kursi kamarnya sambil menatapnya memindai.

"Lo! Lo ngapain di sini?" galak Leonor. Ia sangat membenci jika ada seseorang yang masuk ke dalam lingkaran privasinya tanpa izin.

Alam bangkit berdiri, kakinya melangkah pelan ke arah Leonor.
"Tangan lo kenapa?" bukannya menjawab pertanyaan gadis itu, ia malahan melontarkan pertanyaan lain. Tangannya yang putih pucat memegang telapak tangan Leonor yang sudah dililit perban dengan ekspresi bingung.

Leonor menarik tangannya lalu menyembunyikannya di belakang tubuhnya.
"Nggak sengaja kegores pisau." ujarnya.

"Lo ngapain di kamar gue?" sambungnya memicingkan matanya.

Alam tersenyum manis.
"Nunggu lo. Kan gue udah ngasih tahu tadi." ujarnya.

"Ck sana keluar!" usirnya. Gadis itu dengan sadis mendorong punggung lelaki itu keluar dari kamarnya, lalu menutup pintu dengan kencang. Leonor menghela napas, ia terduduk di bawah pintu sambil memperhatikan luka di tangannya. Sebelum pulang tadi, ia sempat menangani lukanya sendirian.

Masih terasa bagaimana pisau dingin itu menembus kulitnya. Mungkin ini alasan kenapa keluarga pasien itu melarang siapapun masuk kecuali para petugas medis. Pasiennya sedikit? Entahlah, mungkin mentalnya sedikit terganggu? Tapi ia tak bisa menyimpulkannya begitu saja. Tapi dibandingkan itu, ia malahan lebih tertarik dengan keterlibatan Kaiser.

Di dalam kesunyian ini pikiran Leonor bercabang kemana-mana. Hidup sendirian di kota besar tanpa keluarga ternyata tak segampang yang dipikirkan. Leonor besar tanpa pernah bisa tahu rupa ibunya. Orang tuanya bercerai tepat saat ia lahir. Ia dibawa pergi oleh ayahnya dan besar di pinggir kota. Sejak kecil ia sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan. Ayahnya seorang nelayan dan hasilnya sebagian besar ia gunakan untuk mabuk-mabukan. Leonor kecil selalu patuh saat ayahnya memberi pesan untuk mengunci pintu kamarnya sebelum ia pergi mabuk.

Ayahnya akan menjadi monster setelah pulang dari tongkrongannya. Leonor waktu itu hanya bisa berdiam di balik pintu sambil menahan tangis ketakutan, saat sang ayah memaksanya untuk membuka pintu agar bisa menghajarnya habis-habisan.

Namun walaupun begitu Leonor tidak akan pernah bisa membenci ayahnya. Ia tahu ayahnya menyayanginya.  Pesan untuk mengunci pintu kamar adalah bukti betapa ayahnya menyayanginya supaya ia tidak lepas tangan saat mabuk nanti.

Tapi kebersamaannya dengan ayahnya hanya bisa bertahan sampai umurnya 15 tahun. Ayahnya mati ditusuk oleh teman tongkrongannya sendiri saat sedang mabuk. Dan pada akhirnya Leonor sendirian.

Tok tok tok

Leonor langsung tersadar dari lamunannya saat pintu kamarnya diketuk dari luar. Gadis itu segera bangkit lalu membuka pintu. Ia tidak mendapatkan apapun selain selembar daun pohon maple bewarna orange gelap yang tergeletak di atas lantai.

Leonor berjongkok. Ia mengangkat daun tersebut. Gadis itu menyeringit saat menyadari sebuah goresan tinta di atas daunnya.

'Capek? Sama kok gue juga. Mau mundur? Cemen berarti.'

Leonor membalik daunnya. Gadis itu menarik permen karet yang tertempel sempurna di sana. Ia membuka bungkusannya dan memasukannya ke dalam mulut. Rasa asam bercampur manis menyatu dengan lidahnya. Enak, Leonor menyukainya.

***

Suasana rumah pagi ini benar-benar menyenangkan. Siapa yang tidak ingin libur? Semua orang bahkan menginginkan hal itu untuk berhenti sejenak pada kegiatan monoton mereka. Freya, Leonor, dan juga Tessa sudah berkutat dengan alat-alat dapur sejak beberapa waktu lalu.
"Kak, bawang putihnya mana?" Leonor bertanya saat ia tak menemukan salah satu bumbu dapur yang berperan penting dalam makanan itu.

A L A M [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang