A L A M 21

1.3K 172 9
                                    

"Leo, temenin gue ngambil tanda tangan ke rumah dosen pembimbing gue dong."

Leonor yang baru saja mengantar kepergian orang tua Freya di teras pun mendesah pelan. Ia ingin menolak karena seharian ini dirinya sangat lelah menemani kedua anak laki-laki itu. Untung saja Wayne dan Elios dibawa orang tua Freya ke luar kota untuk dua hari ke depan. Dan sekarang, ia benar-benar tak bisa menolak wajah memelas Dasha, yang sudah seperti kucing kecil yang meminta tulang ikan.

"Ini udah petang. Kenapa baru sekarang Kak?" tanya Leonor.

Dasha menggaruk tengkuknya.
"Itu loh, sebenarnya gue telat nyelesaiin proposal ini, harusnya tadi siang. Gue mohon-mohon deh sama tuh dosen. Dan dibolehin asal gue bawa lo hehehe." cengirnya diakhir kalimat.

Leonor mengangkat alisnya.
"Gue? Kenapa gue?" protesnya menunjuk dirinya.

"Mana gue tahu. Pokoknya lo harus mau. Mumpung mood dosen gue lagi baik huhu. Mau ya? Ya? Ya? Ya? Pulang nanti gue traktir makan di luar deh." tawarnya.

Leonor mengangguk.
"Gue ganti baju dulu." ujarnya. Gadis itu pun segera naik ke atas kamarnya setelah disetujui Dasha. Ia mengganti baju rumahannya dengan kaos softpink dan rok putih selutut. Rambutnya yang panjang ia biarkan terurai.

Leonor segera turun dan keduanya pun berangkat menggunakan motor matic Freya yang berada di garasi. Tenang saja, Dasha sudah meminta izin terlebih dahulu pada pemilik sebenarnya.

Lebih dari satu jam lamanya, akhirnya motor itu memasuki kawasan elit. Rumah-rumah mewah berada di kanan kiri, membuat Dasha tak henti-hentinya berdecak.
"Anjir bak istana aja." celetuknya kagum.

"Rumah dosen lo yang mana Kak?" tanya Leonor yang tetap fokus mengendarai motor itu.

"Bentar gue liat dulu." Dasha yang duduk di belakang segera mengecek alat yang di share beberapa jam yang lalu oleh sang dosen.

"Nahh yang di depan itu, sebelah kiri Leo, yang lantainya tiga." lanjutnya menunjuk-nunjuk mansion bercat cokelat susu campur putih.

Leo membelokan setir ke sebelah kiri sesuai instruksi gadis itu. Dasha turun dan melambai-lambaikan tangan pada satpam yang berjaga. Sosok sangar itu mendekat.
"Cari siapa?" tanyanya dengan datar.

Dasha meneguk ludah, ternyata satpam dosennya itu berbeda jauh dengan satpam fiksi, yang sering ia baca. Tidak ada tampang ramah, tidak ada pria paruh baya dengan rambut memutih, atau pria yang menghambiskan waktu meminum kopi di posnya. Satpam di depannya lebih mirip pembunuh bayaran. Wajahnya menyeramkan, tatapannya tajam, tubuhnya kaku, dan kerjanya berdiri bagai patung di samping gerbang.

"S-saya nyari dosen saya, Pak Orion. Saya mahasiswinya." ringis Dasha setengah gugup.

"Nama." ujar satpam itu.

"D-Dasha Martawin." seru gadis itu cepat.

Satpam itu menghubungi seseorang diseberang sana tanpa melepas tatapan penuh selidiknya pada kedua orang gadis itu. Tak lama panggilan itu berakhir, satpam itu mengeluarkan remote khusus. Gerbang itupun perlahan-lahan terbuka.
"Silahkan, Nona Dasha dan Nona Leonor telah di tunggu Tuan Muda di dalam." ujar satpam itu.

Leonor segera memasukan motornya bergabung dengan kendaraan lain entah milik siapa. Mungkin ada tamu di dalam. Dasha berlari kecil padanya.
"Sumpah ya Leo, tuh satpam udah kayak malaikat pencabut nyawa. Pokoknya ini harus terakhir kali gue ke sini." celotehnya berbisik.

A L A M [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang