A L A M 39

1.1K 156 4
                                    

"Ayo putus."

Suara rendah menjadi pembuka setelah keheningan terjadi beberapa saat. Kaiser tak ragu-ragu dengan ucapannya yang ia tunjukan untuk Kaylee, gadis yang sama sekali tak terkejut dengan itu. Ia sudah menduga-duga akibat setelah melakukan kesalahan yang seharusnya tak ia lakukan. Walaupun ia tak terkejut, tapi ia tak menyangka jika itu pilihan Kaiser.

"Gue minta maaf." Kaylee menggigit pipi bagian dalamnya. Ia benar-benar menyesal telah melakukan hal itu.

"Gue nggak mau putus. Kasih gue kesempatan. Gue janji gue nggak bakalan ngelakuin hal konyol lagi." ia berkata lagi.

Namun Kaiser tidak melakukan apapun dan tetap diam pada tempatnya. Kaylee mengambil telapak tangan lelaki itu, menggenggamnya dengan erat.
"Kasih gue kesempatan." gadis itu tampak tak menyerah.

"Minta maaf sama Adik gue." Kaiser berkata sebelum meninggalkan gadis itu. Kaylee menatap punggung dingin lelaki yang masih menggantung ucapannya. Jika dengan itu Kaiser tidak memutuskannya, maka akan ia lakukan. Apapun itu, asal tidak ada kata pisah.

Sementara di sisi lain, Leonor harus menelan pil pahit saat untuk kedua kalinya ia bertemu Calix, ketua Aldofos Gang yang pernah menyekapnya bersama Sofia waktu itu. Gadis itu dengan sigap memutar badan, lalu berjalan cepat. Sial sekali ia harus bertemu makhluk itu di minimarket saat sedang membeli pembalut.

Leonor keluar dari sana dengan tergesa-gesa. Ia menyebrang di atas zebra cross. Setelah sampai di seberang jalan, ia melanjutkan perjalanannya menuju rumah yang jaraknya sudah dekat.

Sebuah tangan tiba-tiba memegang bahunya.
"Kenapa kabur?"

Leonor berdiri kaku. Tampak menoleh pun, ia mengenali suara itu. Walaupun hanya bertemu sekali, namun suaranya yang sedikit khas menempel di otaknya. Sosok itu membalikan tubuhnya dengan kasar, hingga keduanya saling berhadapan. Leonor kesal saat diperlakukan demikian. Dengan wajah tak ramahnya, gadis itu memelototi Calix.

"Apa?!" Leonor berkata dengan tak santai, mengubur rasa takutnya tadi.

Calix mendelik tak senang. Tangannya sudah ia siapkan untuk mencekik gadis itu hingga mati, namun tempat ini terlalu ramai untuk melakukan tindakan kriminalnya. Jadi dengan kasar ia menyeret gadis itu menuju lapangan voli yang kosong. Biasanya tempat itu akan ramai di sore hari saja. Tidak untuk sekarang. Jarak tempat itu hanya beberapa meter dari tempat mereka tadi.

Lelaki itu mendorong bahu Leonor hingga duduk di bangku panjang, yang biasanya digunakan untuk menonton. Calix duduk di samping gadis itu, lalu melempar plastik yang tadi ia genggam.

"Obati gue." lelaki itu memerintah. Ia membuka tudung hoodienya, memperlihatkan goresan yang masih menyisakan darah segar di bagian tengkuknya.

"Malas gue, lo pikir gue babu apa?!" Leonor menolak tanpa ragu. Ia berdiri dari posisi duduknya dan mau pergi. Namun kaosnya di tarik dengan kasar dari belakang, hingga ia jatuh kembali di bangkunya.

"Gue nggak butuh protesan lo. Lo emang babu gue! Cepetan obatin!" Calix berucap tanpa bantahan. Lelaki itu menatap tajam sosok Leonor yang masih tidak bergeming melakukan perintahnya dan malahan balas menatapnya demikian.

"Lo nyari mati ya? Cepetan! Jangan sampe gue kehabisan stok sabar dan langsung habisin nyawa lo di sini. Mumpung sepi!" Calix menyeringai dengan segala otak kotornya. Leonor yang kalah jauh mau tak mau menuruti lelaki itu.

A L A M [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang