A L A M 38

1.2K 151 5
                                    

Leonor terjebak di antara kaktus-kaktus setinggi manusia. Beberapa waktu lalu, Patricia meninggalkannya dengan buru-buru, saat seorang pelayan membisikan sesuatu di telinga wanita itu. Jadi di sinilah ia sekarang, berdiri sendirian. Dan saat setetas demi setetas air dari atas langit mulai menbasahi bumi, gadis itu langsung mengambil tindakan menerobos untuk masuk ke mansion utama.

Leonor sampai di lorong terbuka, yang bersambungan langsung dengan taman. Beberapa pelayan melewatinya. Orang-orang itu selalu membungkuk saat berpas-pasan. Padahal dirinya bukan pemilik rumah. Apakah mereka tidak sakit pinggang dengan memberi hormat terus? Ia sungguh tak habis pikir.

Leonor tidak ada niatan kembali ke ruang tamu, mengingat pastinya Alam masih berbicara dengan ayahnya. Jadi ia memutuskan mengelilingi koridor yang terbentang jauh membentuk lingkaran yang mengelilingi taman kaktus. Sungguh pemilik rumah memiliki selera yang sedikit unik.

Entah sejauh mana ia telah berjalan, yang pasti ia tak ada niatan berhenti. Mansion ini benar-benar luas, jadi untuk mengelilingi koridor ini membutuhkan sedikit tenaga. Leonor tidak tahu tempat apa saja yang ia lewati. Tapi saat matanya berhasil menangkap punggung sosok bergaun merah muda, langkahnya langsung berhenti sejenak.

Sosok Sofia tampak berbelok masuk ke sebuah lorong baru. Ia melewati pintu-pintu terbuat dari bahan berkualitas, menuju sebuah pintu paling belakang. Seorang pelayan tampak keluar dari kamar itu. Sofia menatap troli makanan yang di dorong keluar dengan mata berkaca.

"Apa Kakak tidak mau makan lagi?" tanyanya sedih.

Pelayan itu tampak membungkuk.
"Benar Nona Muda, Tuan Muda Pertama menolak makan lagi." ujar wanita muda itu.

Sofia mengusap ujung matanya yang berair. Gadis manis itu mengambil alih troli itu.
"Biar aku saja, aku akan mencoba membujuknya." ujarnya lirih, nyaris tak terdengar.

Pelayan itu terlihat ragu-ragu.
"Maaf karena saya tidak bisa melakukan tugas saya dengan benar, Nona Muda. Tapi saya akan mencoba membujuk Tuan Muda Pertama kembali." ujar pelayan itu penuh hormat.

Sofia menggeleng.
"Aku saja, aku ingin membujuk Kakak. Lagipun, aku merindukannya. Sudah lama aku tidak menjenguknya." ujarnya penuh kelembutan. Tangannya yang halus menyentuh pundak pelayan yang ragu itu.

"Jangan khawatir, aku bisa menjaga diri. Kakak tidak akan lagi melukaiku." Sofia mencoba menenangkan.

Setelah membujuk pelayan yang bertugas mengurus anak sulung keluarga White, akhirnya Sofia diizinkan masuk sambil mendorong troli makanan. Gadis itu tak lupa menutup pintu sebelum mendekati sosok yang tampak asik dengan mainan robot-robotan di atas kasurnya.

Sofia duduk di tepi kasur.
"Kakak, ayo makan." suaranya begitu memikat, bagaikan embun di pagi hari. Benar-benar menghipnotis siapapun yang mendengarnya. Tapi putra sulung White, Ansley White masih saja sibuk mengadu robot di tangannya. Lelaki itu tertawa riang dengan dunianya sendiri. Tubuhnya yang hanya dibaluti popok itu benar-benar tidak menanggapi apapun.

Sofia bergegas menarik mainan kakaknya. Sosok Ansley merengek dan berusaha merebut mainan itu. Sofia cepat-cepat melempar benda itu ke dinding hingga hancur. Sosok Ansley mulai menitikan air mata. Ia menangis tanpa malu seperti bayi yang baru lahir. Sofia mencegat tangis itu dengan menyumpal mulut kakaknya dengan dot berisi susu formula.

Melihat kakaknya yang kembali enteng seakan tak pernah terjadi apapun, Sofia tersenyum manis. Gadis itu kini beralih mengangkat mangkuk berisi bubur yang sudah dingin.
"Saatnya makan."

Ansley menghindari sendok yang melayang ke arahnya. Tangan kirinya menepis benda itu, hingga bubur itu terhempas begitu saja di atas kasur. Mata lelaki dewasa itu mulai berkaca-kaca, tanda jika ia tak menyukai perlakuan Sofia barusan.

A L A M [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang