17: Dua hati

324 55 4
                                    


Haruto memasuki kediamannya yang gelap,sedikit aneh karena biasanya ia akan disambut oleh suara cempreng si bungsu Juno begitu ia pulang.

"Juno?"

Haruto memanggil si bungsu sambil menuangkan segelas air,ia minum habis air dingin itu yang membasuh tenggorokan keringnya setelah dihajar tiga meeting hari ini.Haruto memang sudah beritahukan pada Juno kalau ia akan pulang sedikit terlambat hari ini,tadi pagi ia juga sudah menyiapkan sejumlah uang untuk beli makan malam karena bibi yang biasanya membantu di rumah hari ini tidak bisa masuk karena pulang kampung.

Haruto memakluminya,toh ia yakin Juno sudah cukup mandiri untuk menyiapkan makan malamnya.

Namun tidak ada jawaban dari si bungsu,Haruto membuka pintu kamar nya yang bercat biru—menemukan Juno bergelung selimut dengan meringkuk.

"Juno,nak...sudah makan malam?" dengan pelan Haruto bertanya,ia membuka sedikit selimut yang menutupi wajah anaknya.Dan betapa terkejutnya Haruto melihat wajah Juno memerah dan begitu ia meletakkan tangannya di dahi Juno,Haruto terhenyak sesaat.

"Panas..."Haruto terpaksa membangunkan Juno,si bungsu dengan wajah kuyu membuka matanya yang berair saking panasnya suhu tubuhnya.

"Papa..."

"Sudah makan nak?"Jawaban Juno lagi-lagi membuat Haruto terdiam,belum katanya.

"Sebentar ya,Papa buatkan bubur dulu..."

Haruto menghela napas sejenak saat ia melihat sebuah surat izin di meja belajar Juno,surat izin sakit dari siang hari.Kalau begitu siapa yang mengantar Juno pulang?itu berarti ia belum makan dari siang?Haruto menatap thermometer Juno yang menunjuk angka 37.5,setelah mengatur suhu kamar Juno ia keluar.Menekuk kemeja kerjanya,ia bahkan masih belum ganti baju dan hanya memikirkan Juno.

Sebenarnya pekerjaan Haruto belum selesai begitu saja,masih banyak laporan yang harus ia periksa tapi itu semua ia bawa pulang ke rumah karena tidak tega meninggalkan Juno sendirian,terlebih setelah tahu si bungsu sakit begini.

Di tengah acaranya membuat bubur,ponselnya berdering—memperlihatkan telepon dari general managernya,tapi Haruto biarkan panggilan itu.Ia mengecek kembali Juno dan Haruto mengerinyit dalam melihat suhu tubuhnya menunjukkan angka 38,dan sekarang Juno bahkan sudah menangis karena sakitnya.

"Papa...sakit" ucap Juno setengah mengigau,

"Yang sakit mana nak?kepalanya sakit atau dadanya?"Haruto sedikit khawatir jika dada Juno sakit,karena jujur ia masih tak tahu harus apa sampai saat ini.

"Semuanya"

Haruto mengusap wajahnya lelah,kepalanya juga pusing sebenarnya tapi ayolah—badannya harus bisa diajak kerja sama,putranya sedang sakit tapi bisa-bisanya ia ikut sakit.Pria watanabe itu mengkompres dahi Juno dengan plester penurun panas persediaan di rumah.

Haruto setengah tergesa kembali ke dapur,memasak buburnya karena bagaimanapun Juno harus makan terlebih dahulu.Di tengah sakit kepalanya yang makin hebat,Haruto mengambil ponselnya,mencari nomor tersimpan disana lalu...

"Halo..."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Senandika◐Harukyu[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang