34:Waktu

385 47 6
                                    


.

.

.

Mengerjapkan matanya pelan,mata cantik itu terbuka perlahan sesuaikan cahaya yang masuk.Dan yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit berwarna putih dan bau khas rumah sakit.Kim Junkyu,si cantik itu menoleh ke kiri melihat kalender di nakas sebelah ranjang rumah sakitnya.Ia melihat tangannya yang tertancap saluran infus disana.Sudah berapa lama ia tertidur?

Ia menoleh-noleh ke kanan,dan bertepatan dengan itu pintu kamarnya terbuka—menampilkan Park Jihoon yang menatapnya dengan terkejut.

"Junkyu..."Jihoon buru-buru mendekat,ia menggenggam tangan Junkyu dengan raut khawatir.

"Ada yang sakit?kepalamu sakit?dadamu sakit?"Junkyu seketika pusing mendengar pertanyaan bertubi-tubi Jihoon,Junkyu memejamkan matanya.

"Bantu aku duduk dulu,"

Jihoon dengan sigap menaikkan sandaran ranjang Junkyu hingga kawannya itu bisa duduk setengah bersandar dengan nyaman.

"Berapa lama aku tidur?"tanya Junkyu,masih dengan sisa kekuatannya.Jihoon berikan kawannya itu segelas air mineral sambil menjawab,

"Hampir dua hari kau tidur,kau—"

Jihoon terdiam,membuat Junkyu mengerinyit."Aku kenapa,Jihoon?"

Jihoon menghela napas kasar,menatap Junkyu dengan sendu."Kau overdosis obat tidur,Sano yang menemukan mu pingsan di kamar,dan kandunganmu...kata dokter,lemah—itu semua akibat obat-obatan yang kau konsumsi sebulan ini,"

Junkyu tertegun mendengarnya,ia menatap Jihoon dengan tatapan tak terbaca.

"Ya,kau hamil Junkyu."

Mendengar itu Junkyu rasakan perasaan yang sangat sulit dijelaskan,antara bahagia mendengarnya dan bercampur kalut—apa yang harus ia lakukan dengan statusnya ini?berarti selama ini 'ia' ada disana,dan Junkyu tak mengetahuinya?

Junkyu telan ludahnya kasar,"Siapa saja yang tahu?"

"Aku...dan Haruto tahu,"

Junkyu menunduk,mendengar nama itu ia bisa rasakan dadanya berdenyut sakit kembali.Haruto lah alasan ia kembali mengkonsumsi obat-obatan seperti obat tidur dan depresan selama sebulan ini dan puncaknya adalah beberapa hari lalu,ketika ia merasakan suara-suara yang mengganggunya semakin berisik dan Junkyu sudah tak tahan lagi—ia minum langsung semua obat tidurnya.

Ia tak tahu kalau ada nyawa lain yang ia bawa,dan Watanabe Haruto—orang yang ingin ia hindari,tahu akan hal itu akhirnya.

Junkyu menggeleng kecil masih dengan menunduk menekuri tautan jarinya,

"Aku..masih tak ingin bertemu dia,"

Mendengar itu Jihoon bergerak memeluk Junkyu dari samping,"Aku tahu,jangan dipaksakan Junkyu...kau dan Haruto masih butuh banyak waktu untuk tenang,pelan-pelan saja,aku yakin Haruto mau mengerti."

Junkyu tak tahu bagaimana mengungkapkannya lagi,tapi ia bersyukur memiliki Jihoon sebagai sahabatnya saat ini.

Junkyu tak tahu bagaimana mengungkapkannya lagi,tapi ia bersyukur memiliki Jihoon sebagai sahabatnya saat ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dan disinilah Jihoon duduk saat ini,di ruang tamu rumah Watanabe Haruto.Mata bulatnya menatap kesekeliling,pada interior rumah Haruto yang apik dan modern—berbeda dengan rumah Junkyu yang masih bergaya vintage-semi modern.Samar Jihoon bisa mendengar suara televisi dan tawa dua anak lelaki Haruto dan Junkyu—Sano dan Juno,di ruang tengah yang posisinya membelakangi ruang tamu.

Jihoon memang minta tolong pada Haruto untuk menjaga Sano dan Juno karena ia sendiri juga sibuk untuk mondar-mandir,lagipula Haruto ayah mereka—tak ada salahnya bukan?

Haruto datang tak lama kemudian dengan satu teko berisi teh dan dua cangkir,letakkan diatas meja dan pria watanabe itu duduk di seberang Jihoon berhadapan dengannya.

"Bagaimana Junkyu?"itu Haruto yang bertanya,sambil menuangkan teh pada cangkir Jihoon.Park Jihoon gumamkan terimakasih,

"Ia sedikit bingung setelah siuman,dan yah,aku memberitahunya soal kehamilannya pelan-pelan,"

Haruto menatap Park Jihoon lalu menghela napasnya kasar,"Bagaimana reaksinya?"

"Ia sedikit terkejut—tapi aku kira ia sudah mengantisipasinya,jadi ia tak begitu terkejut ataupun marah padamu hanya saja...ia berkata tak ingin bertemu denganmu dulu,"

Jihoon bisa melihat putus asa di wajah tampan Watanabe Haruto,sebelum ia lanjutkan lagi perkataannya.

"aku tak memaksa Junkyu untuk menemuimu,kukira ia butuh waktu untuk menerima dan mencerna segalanya terlebih ia ada di kondisi sakit,kukira kau juga butuh waktu hingga sampai saatnya untuk Junkyu siap menemuimu lagi dan barulah kalian bicarakan segalanya,"

Haruto mengangguk lagi masih dengan menunduk menekuri tautan jarinya diatas pangkuannya,pikirannya berkecamuk.

"Kau bisa mengerti bukan,Haruto?"

"Ya...aku mengerti,Ji."

"Aku tak tahu apa yang terjadi diantara kau dan Junkyu,karena sekarang kau belum siap sepertinya untuk bercerita—kuharap ketika kau lebih siap,kau bisa ceritakan padaku dan Kak Hyunsuk,"

Ujar Jihoon terakhir kali,ia tak bisa berlama-lama karena pekerjaannya di rumah sakit masih menunggunya.Sebelum Jihoon pergi Haruto sempat berkata padanya,

"Jihoon terimakasih banyak sudah menemani Junkyu dan Sano selama ini,a-aku tak tahu harus bagaimana lagi jika kau—"

Jihoon tersenyum,tepuk sisi lengan Haruto pelan dengan bersahabat."Sudah semestinya aku melakukannya,Haruto."



.

.


.





Haloo!

Maaf ya yeorobunnn aku menghilang lima hari(?) ini...aku keluar kota gais dari Jumat sampai minggu,lalu setelah itu aku ada sesuatu yang membuat aku nggakk baik-baik aja:(tapi gapapa!aku coba sebisaku buat bangkit dan nulis lagi untuk kalian hehehe,jadi aku minta maaf ya kalau nggak nge feel nulisnya:((

Oiya ini kayaknya mau mendekati ending deh ya,perkiraanku sih begitu hehehe.


Senandika◐Harukyu[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang