3. ain't no magic tool to fix it

444 43 2
                                    

"Kau tidak ada rencana bepergian?" tanya Jisoo sebelum pergi.

Rosé menggeleng. Sudah sejak pagi ia sibuk dengan gitar dan keyboard miliknya. Mencoba beberapa nada untuk projek yang sedang dikerjakannya. Projek terakhir agar bisa lulus dan mendapat kredit untuk salah satu mata kuliahnya.

"Jennie sudah pergi?" tanya Jisoo lagi. "Dia pergi ke kantor?"

"Ya, Kai menyuruhnya ke kantor." jawab Rosé. Seisi rumah sedang fokus memperhatikan Jennie dan masalah dengan bosnya.

"Pasti akan sangat canggung." Jisoo meringis. "Aku pasti akan mengundurkan diri dari kantor jika menyukai bosku sendiri."

Rosé menatap Jisoo heran. "Jennie mengatakan kalau dia suka pada Kai?"

"Tidak. Setidaknya belum." jawab Jisoo. "Tapi kau bisa melihatnya sendiri. They're into each other. The tension could kill someone, you know?"

Rosé terkekeh. Ia memilih tidak merespon obrolan Jisoo tentang Jennie. Ya, seringkali pendapat Jisoo memang akurat. Tapi rasanya bukan tempat Rosé untuk mengatur urusan Jennie. Sahabatnya itu sudah cukup dewasa untuk menentukan sikap.

"Hati-hati, oke? See you soon." Rosé berkata saat Jisoo sudah hendak keluar rumah.

"Bye!" sahut Jisoo sebelum meninggalkan rumah.

Kini Rosé sendirian di rumah. Ketiga temannya sudah pergi dengan urusan masing-masing. Biasanya Rosé pergi ke taman atau kampus untuk mencari inspirasi. Tapi kali ini ia sedang tidak ingin bepergian dan membawa alat musiknya.

"I worked my whole life just to be like...look at me I'm never coming down..." Rosé memainkan beberapa nada dengan lirik yang ditulisnya beberapa waktu ke belakang.

"Everything I need is on the ground—" Rosé menekan beberapa bagian keyboard tapi belum menemukan nada yang pas.

Di tengah kegiatannya, ponsel Rosé berbunyi. Ia mengerang kesal karena biasanya ia selalu membisukan ponsel saat bekerja. Distraksi sekecil apa pun kadang membuat mood-nya hilang.

Dengan satu gerakan kasar, Rosé mengambil ponselnya dan melihat panggilan video call dari Madeline. Tiba-tiba saja jantungnya berdegup dua kali lebih cepat. Tidak biasanya Madeline menghubunginya. Apa sesuatu yang buruk terjadi pada orang tuanya?

Meski ragu, Rosé menekan ikon jawab. Terlihat wajah Madeline memenuhi layar. Sepertinya kakaknya sedang berada di kantor.

"Hai, Roseanne. Sudah lama sekali tidak bertemu." sapa Madeline formal. Sama sekali bukan seperti obrolan antara kakak-adik.

"Kau masih bisa memanggilku Rosie, Maddy." sahut Rosé datar. Ia berusaha tidak bertatapan dengan Madeline dan lebih memilih memperhatikan lembaran kertas berisi nada-nada di yang tersebar di hadapannya.

"Ya, aku tahu. Hanya saja aku tidak yakin kau masih dipanggil Rosie. Aku melihat akun Youtube-mu. Rosé. That's...different."

Rosé angkat bahu. "Itu nama panggung." jawabnya asal. "Ada apa Maddy? Ayah dan ibu baik-baik saja?"

Di layar terlihat Madeline mendengus. "So what? Aku tidak boleh menghubungi adikku sekarang?"

Geram, Rosé memutar bola matanya. "Just cut to the chase, okay? Aku tidak punya waktu untuk bermain sarkasme denganmu."

"Ugh! Empat tahun di NYU dan kau sudah berubah menjadi New Yorker." dengus Madeline. "Kau belum mengecek sosial mediamu, ya?"

Alis Rosé berkerut. Kenapa tiba-tiba Madeline menanyakan sosial medianya? Ia memang belum mengecek kehidupan sosial orang-orang sejak kemarin. Itu juga karena ia tidak mau terlibat dalam obrolan Jennie, Kai, dan Chanyeol.

Ever You | chanrose (YOU SERIES BOOK 2) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang