13. you'll never know

397 41 10
                                    

"Wake up, Zebra. Kita hampir mendarat," Chanyeol menggoyangkan pelan tubuh gadis yang sedang terlelap tidur di sampingnya.

Dengan mata yang masih menempel dan sakit kepala yang tiba-tiba menyerang, Rosé memaksa diri untuk sadar. Pandangannya mengabur dan sekelilingnya terasa berputar. Menghabiskan tiga gelas sampanye ternyata ide buruk.

Samar-samar, Rosé mendengar suara pilot dari pengeras suara yang mengumumkan waktu mendarat pesawat yang ia tumpangi. Dua puluh jam lebih ia berada di pesawat, sebisa mungkin tetap waras menghadapi tingkah Chanyeol yang seperti orang sinting.

Lima jam pertama setelah mereka bermain truth or dare dihabiskan untuk menonton film-film bertema pengacara seperti The Lincoln Lawyer dan Erin Brokovich. Beberapa kali Rosé menahan kantuk karena tidak begitu tertarik dengan filmnya. Tapi suara Chanyeol yang terus-menerus berkomentar sepanjang film membangunkannya lagi. Maka dari itu ia menambah lagi dan lagi alkoholnya agar tetap waras menghadapi Chanyeol.

Menjelang malam, untungnya Chanyeol disibukkan dengan pekerjaan mendadak. Akhirnya Rosé bisa tenang sedikit bahkan akhirnya tertidur lelap.

"Aku mau ke toilet," gumam Rosé sambil tetap berusaha mengumpulkan kesadarannya.

Setengah jam kemudian, mereka akhirnya mendarat di Melbourne International Airport. Setelah melewati imigrasi dan serangkaian proses bandara, keduanya mendapatkan koper masing-masing.

Rosé menghubungi ayahnya yang berkata akan menjemput di bandara. Ayahnya berkata ia sedang dalam perjalanan dan akan sampai beberapa menit lagi.

Menunggu ayahnya, Rosé bersandar pada tiang besar di depan pintu masuk terminal kedatangan. Waktu masih sangat pagi dan bandara tidak begitu ramai. Rosé memperhatikan lalu-lalang orang yang sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Kemudian ia teringat kalau Chanyeol belum kembali semenjak mendapatkan kopernya dan pergi ke toilet.

"Kopi?" Chanyeol kembali lalu menyodorkan segelas kopi hangat ke arahnya. "I think you need it."

Tanpa suara, Rosé menerima gelas tersebut dan menangkupnya dengan dua tangan. Kehangatan menjalar ke tangan dan tubuhnya. Kepalanya masih terasa sedikit berputar dan mungkin kopi bisa membantu meringankan.

"Ayahku sebentar lagi sampai," ujar Rosé menyesap kopinya.

Chanyeol mengangguk. Sebenarnya kedua orang itu sempat berdebat masalah penjemputan. Rosé bersikeras kalau ayahnya akan menjemput, sementara Chanyeol bersikeras ingin naik taksi saja. Hanya saja Rosé akhirnya menang. Jarak untuk naik taksi terlalu jauh bahkan para supir taksi pun kadang keberatan karena rumah neneknya berada di luar area Melbourne. Cukup jauh dari bandara dan pusat kota.

Beberapa menit berlalu, sebuah mobil Audi hitam menepi di dekat mereka. Saat kaca diturunkan, Mason Park menyuruh kedua orang itu naik.

Rosé duduk di depan sementara Chanyeol di kursi belakang. "How was the flight?" tanya Mason saat kedua muda-mudi itu sudah duduk di tempatnya.

"Tidak buruk," jawab Chanyeol santai. "Bisa lebih baik jika steak yang disajikan tidak terlalu kering."

Rosé memutar bola mata dengan kesal. Sudah sejak makan malam, Chanyeol tidak berhenti menggerutu. Rosé sendiri tidak mengerti apa yang salah dengan makanan itu. Menurutnya makanan yang dimakannya masih sangat layak untuk dimakan, bahkan termasuk enak.

"Uh, aku juga benci steak kering," ayah Rosé menyahut setuju. "Omong-omong, bagaimana kabar Jennie?"

"Dia bekerja di Shore LA," jawab Chanyeol.

Mason melirik Rosé dengan ujung matanya. "Rosie tidak menceritakannya. Tinggal di LA dengan pekerjaan bagus pasti menyenangkan."

Sebisa mungkin Rosé menahan bibirnya untuk tidak berkomentar. Ia tahu ayahnya sedang memancing agar Rosé mau membahas pekerjaan. Pada akhirnya Rosé akan menerima kritikan dan saran untuk bekerja di bidang lain.

Ever You | chanrose (YOU SERIES BOOK 2) ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang