38. jadikan gue sandaran

5.4K 253 6
                                    

Vincent baru saja keluar dari kamarnya setelah mengganti baju, iya berniat untuk mengambil minuman di dapur karena persediaan minuman di kamarnya kosong. Namun langkahnya terhenti saat mendengar sang ibu tengah melakukan panggilan bersama seseorang. Ia sedikit mengerutkan keningnya karena mendengar nama Cherly keluar dari mulut sang ibu.

"Kamu tenang aja aku sama Vincent dan juga suamiku pasti jagain Cherly di sini. Mungkin dia lagi capek jadi moodnya kurang baik, kalian pergi aja dengan tenang. Besok aku akan pergi ke rumah kalian dan melihat keadaan Cherly."

Mendengar hal itu Vincent segera berpikir, jika malam ini keluarga Cherly akan berangkat ke luar negeri seperti yang gadis itu katakan. Niatnya untuk mengambil minuman batal, vincen langsung berlari ke kamarnya untuk mengambil kunci mobil dan segera pergi ke rumah tunangannya. Sebelum itu ia mampir ke minimarket untuk membeli es krim terlebih dulu. Agar itu bisa membantu memperbaiki mood Cherly yang sedang rusak.

Sesampainya di rumah tunangannya, Vincent segera masuk dan mendapati seorang wanita baru bayar yang tidak lain adalah pembantu rumah tangga di sana. Wanita itu segera mendekati Vincent dengan langkah cepat.

"Cherly di mana bik?" Tanyanya saat wanita itu sudah ada di depannya.

"Non Cherly ada di kamarnya den, sejak kedua orang tuanya dan kakaknya berangkat non Cherly nggak mau keluar dari kamarnya Den. Tolong bujukin ya den supaya mau makan malam, bibi takut non Cherly sakit kalau sering telat makan." Jelas wanita itu.

Vincent mengganggu lalu segera pergi ke kamar Cherly, ia mengetuk pintu untuk meminta izin masuk. Ternyata pintu kamar Cherly dikunci dari dalam dan tidak ada jawaban dari garis itu saat ia beberapa kali memanggilnya.

"Cher, buka pintunya atau gue dobrak paksa pintu ini biar rusak sekalian!" Trik Vincent mulai kehilangan kesabaran.

Namun Charlie tetap tak mau membuka pintu bahkan tak memberikan sedikitpun jawaban pada Vincent. Akhirnya Vincent bersiap untuk mendobrak pintu itu, tapi sebelum ia menendang pintu terdengar suara kunci dibuka. Lalu menampakkan sosok gadis cantik yang terlihat bangun tidur dengan matanya yang sedikit tertutup.

Tanpa menunggu lama Vincent langsung menarik Cherly ke dalam pelukannya sembari mengelus kepala gadis itu lembut. Sedangkan Cherly yang masih mengumpulkan nyawanya hanya diam mendapat pelukan dari Vincent. Beberapa menit kemudian saat ia mulai sadar, ia segera mendorong Vincent dan melepaskan pelukan mereka dengan paksa.

"Lo mau mengganggu jam tidur gue atau enggak?" Kata Cherly lalu kembali ke dalam kamar dan melemparkan tubuhnya di atas tempat tidur.

Melihat hal itu Vincent ikut masuk dan merebahkan dirinya di samping Cherly. Ia memandangi wajah gadis itu dari samping yang terlihat begitu damai ketika tidur. Dengan perlahan Vincent memberanikan diri membawa tangannya untuk mengelus kepala gadis itu lembut. Selama ini ia sudah mulai cukup dekat dengan Cherly dan mulai paham apa yang gadis itu rasakan. Garis yang selama ini terlihat selalu ceria dengan senyuman manis di wajahnya. Nyatanya semua itu hanya sebuah topeng yang Cherly perlihatkan pada orang sekitarnya, agar tidak ada yang tahu jika dia merasa sedih dan kesepian selama ini.

Hening sesaat, sebelum akhirnya Vincent mendengar suara isek tangis jadi gadis yang ada di sebelahnya. Ia segera beranjak menatap gadis itu, menatapnya dengan lembut. Cherly ikut bangkit dari tidurannya lalu masuk ke dalam pelukan Vincent. Akhir-akhir ini ada begitu banyak kejadian yang membuatnya merasa semakin sulit untuk memakai topeng yang biasa ia kenakan.

"Kenapa mereka jahat? Kenapa mereka nggak pernah ngertiin gue? Hiks hiks kenapa nggak ada yang bisa salah satu dari mereka untuk nemenin gue? Gue kesepian dan ingin merasakan kehangatan keluarga. Tapi kenapa gue nggak bisa mendapatkan semua itu meskipun memiliki keluarga lengkap?" Vincent hanya mendengar apa yang jelek katakan. Ia akan menjawab jika gadis itu bertanya pada dirinya apa yang harus dilakukan.

"Apa gue nggak berharga seperti kakak gue, buat mereka?" Mendengar suara pilu Cherly membuat Vincent merasa sesak pada dadanya.

"Lo berharga, bahkan sangat berharga, Jangan pernah ngomong gitu ." Ujar Vincent sambil terus mengelus kepala Cherly lembut.

"Tapi mereka selalu ninggalin gue sendirian sejak gue kecil, sedangkan kakak, dia selalu diutamakan dan selalu ditemani sama kedua orang tua gue. Dari semua yang mereka lakukan untuk kakak gue, sudah terlihat dengan jelas begitu besar perbedaan kasih sayang mereka pada kita. Gua merasa kalau hidup gue nggak pernah berharga dan berguna untuk mereka." Cherly terus berbicara dengan wajahnya yang ia tenggelamkan pada dada bidang Vincent. Ia ingin menumpahkan semua rasa sakitnya di dada itu dengan puas.

Dengan sabar Vincent terus menunggu Cherly tenang, iya tidak ingin memaksa gadis itu untuk berhenti menangis, agar rasa sakit yang dimiliki berkurang. Setelah cukup lama menangis akhirnya Cherly diam, namun ia masih betah menenggelamkan wajahnya pada dada Vincent.

"Astaga!" Pekik Vincent mengingat sesuatu yang ia lupakan.

Cherly segera mendongak menata Vincent yang tiba-tiba memekik, ia menatap bingung pada tunangannya itu lalu bertanya. "Kenapa, apa ada masalah?"

"Ice cream yang gue beli pasti udah nggak berbentuk." Jawab Vincent pasrah mengingat beberapa es krim yang ia beli diletakkan di nakas samping ranjang Cherly. Ia menatap bungkusan plastik yang ada di sana dengan datar.

"Astaga sayang banget, padahal gue lagi pengen ice cream. Kenapa lo lupa sih harusnya tadi langsung dikasih bukannya ikut rebahan, ih mood gue jadi makin jelek kan!" Charlie langsung mendorong tubuh Vincent dan berjalan ke arah nakas di mana ada kantong plastik dengan es krim yang pasti sudah meleleh.

"Ck, ya namanya juga lupa mau gimana lagi. Ayo makan dulu, nanti kita pergi keluar dan cari ice cream." Vincent meraih kantong plastik yang ia bawa lalu membawa Cherly keluar dari kamar.

Gadis itu hanya menurut saat Vincent membawanya ke ruang makan, karena jujur saja ia sangat lapar setelah menangis sejak tadi. Setelah Vincent mengambilkan makanan, Cherly segera makan. Tapi ia menghentikan suapan ketiganya ke dalam mulut karena Vincent hanya duduk sambil menatapnya.

"Buka mulut, lo juga harus makan karena gue yakin lo pasti juga belum makan malam kan?" Ujar Cherly sambil menyodorkan sendok yang sudah terisi makanan.

Vincent dengan senang hati menerima suapan dari gadis itu, hingga akhirnya keduanya makan satu piring untuk berdua dan Cherly terus menyuapi Vincent hingga makanan mereka habis.

Selesai makan, seperti janjinya tadi Vincent mengajak Cherly untuk pergi ke luar rumah dan mereka membeli es krim di minimarket. Setelahnya mereka jalan-jalan mengelilingi ibukota, menikmati indahnya lampu-lampu kota yang begitu memanjakan mata.

Sama seperti tadi saat di meja makan, Charly menyuapi Vincent ice cream yang ia makan. Sebenarnya tadi Charly ingin membeli 3 ice cream, namun Vincent melarang karena mereka akan jalan-jalan. Jadi Cherly hanya membeli 1 es krim dengan ukuran yang cukup besar.

"Mulai sekarang jangan nangis sendirian lagi, lo harus langsung kasih tahu gue kalau merasa nggak nyaman atau merasa sedih. Jadikan gue tempat lo bersandar dan membagi rasa sakit yang sedang lo rasakan." Kata Vincent setelah mobilnya berhenti di salah satu tempat yang cukup ramai.

"Gue nggak mau menyusahkan orang lain dan orang lain akan tahu seberapa kesepiannya gue. Gue juga nggak mau orang lain tahu betapa inginnya gue merasakan kehangatan keluarga, karena gue nggak mau dianggap gadis lemah!" Ujar Cherly sambil meremas ujung baju yang dipakai.

Vincent tersenyum tipis mendengar perkataan Cherly barusan, iya masih dianggap orang lain oleh gadis itu. Entah kenapa rasanya cukup menyakitkan saat gadis yang mulai bersemayam di hatinya kini menganggap dirinya sebagai orang lain.

"Lo bisa katakan apapun sama gue, gue janji nggak akan pernah menganggap lo sebagai gadis lemah. Lo sekuat dan sehebat apa dalam menghadapi semuanya sendiri selama ini." Vincent menyentuh puncak kepala Cherly dan mengelusnya pelan.

Cherly beralih menata Vincent, ia menatap tepat pada kedua manik mata Vincent yang kini menatapnya dengan dalam. Sebelumnya ia tidak pernah menceritakan apapun pada orang lain, bahkan Joshua tidak mengetahui seratus persen tentang dirinya. Laki-laki itu hanya mengetahui lima belas persen dari apa yang ia alami selama ini. Dan setelah kejadian Joshua kemarin ia belum bisa membuka diri kembali pada orang lain meskipun itu pada Vincent

lelah [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang