WARNING!
CERITA INI MENGADUNG UNSUR KEKERASAN, PELECEHAN, KATA-KATA KASAR, DAN BEBERAPA HAL BURUK YANG TIDAK PANTAS UNTUK DITIRU.
SEMUA TOKOH, RAS, AGAMA, DAN LATAR HANYA FIKTIF BELAKA.
SELAMAT MEMBACA.
⊙⊙⊙⊙
Kamis, 10 Maret 2011
Jam olahraga berakhir ketika bel istirahat berbunyi, sebagian murid bergerak ke kantin untuk membeli jajanan dan sebagaian murid perempuan lainnya berlarian menuju kamar mandi sekolah, salah satunya Ruhi dan Alin—sang kembaran. Setelah selesai berganti seragam Ruhi kembali ke kelas sendirian, Alin pergi ke kantin bersama yang lain.
Ruhi duduk dikelas V-1, usianya lebih muda satu tahun dari teman-teman sekelasnya. Ketika Ruhi sedang menyimpan seragam olahraga ke dalam tas, seorang murid lelaki masuk ke dalam kelas berjalan kearah Ruhi. Tidak, lebih tepatnya kearah mejanya sendiri. Sejak awal semester satu kelas lima wali kelasnya membentuk ruang kelas menjadi kelompok, totalnya empat kelompok. Ruhi berada di kelompok Semangka, berpisah dengan Alin yang berada di kelompok Anggur. Masing-masing kelompok terdiri dari tujuh hingga delapan orang.
“Bu Raya enggak ada kasih PR, kan?” Fahmi bertanya sambil menatap Ruhi, sebelah tangannya mengambil sesuatu di dalam laci. Ruhi menggelengkan kepala sebagai jawaban karena seingatnya guru Fiqih-nya memang tidak memberikan pekerjaan rumah.
Tidak berselang lama Alin dan teman-temannya kembali ke kelas, Alin memberikan nasi bungkus kepada Ruhi lalu kembali ke mejanya sendiri. Masih ada sepuluh menit lagi sebelum jam istirahat berakhir, Ruhi segera menghabiskan makanannya sambil terus dipandangi oleh Fahmi tanpa disadari Ruhi sampai mata pelajaran ketiga dimulai. Ibu Raya meminta semua muridnya untuk menyalin catatan dari buku yang dibagikan. Tanpa Ruhi tahu bahwa selama pelajaran tersebut hidupnya berubah menjadi kelam.
Di tengah-tengah Ruhi menyatat, Fahmi yang duduk disebelah kirinya tiba-tiba saja menganggu Ruhi dengan mengambil pulpen dari tangan Ruhi, lalu menjauhkan dari jangkaun ketika Ruhi kembali hendak merebutnya.
“Balikin pulpen aku, kamu punya pulpen sendiri jangan ganggu aku dong!” kata Ruhi.
“Ambil kalo bisa!”
Fahmi melempar pulpen Ruhi pada teman depannya, lalu sambut dengan baik oleh Ridwan ketika Ruhi meminta Ridwan justru kembali melemparnya pada Fahmi. Sedangkan keempat teman sekelompok Ruhi lainnya memilih menertawakan saja tanpa niat membantu Ruhi. Hingga kemudian Fahmi meraih tanggan kiri Ruhi, mengenggamnya erat sampai Ruhi kesulitan melepaskannya.
“Ih, lepas tangan aku!” Ruhi memberontak, namun tanpa Ruhi duga Fahmi menarik kuat tangannya—mengarahkan ke bawah meja, kearah selangkangannya.
“Lepas!” Tangan Ruhi terkepal, menarik-nariknya agar terlepas dari Fahmi. Ruhi ingin menangis ketika Fahmi membuka resleting celana dengan sebelah tangan lain, berupaya membawa tangan kecil Ruhi menyentuh alat vitalnya.
Mulut Ruhi terkunci rapat, matanya berair dengan wajah memerah. Ruhi menatap teman-temannya meminta pertolongan namun sayangnya tidak ada yang peduli.
“Pegang! Ayo pegang punyaku! Hahaha…” Fahmi tertawa melihat Ruhi ketakutan. Ruhi melihat ke meja guru, Bu Raya tampak tidak mempedulikan keributan kelas, justru terlihat sibuk dengan ponselnya.Gelangan kepala serta usaha melepaskan diri dari Fahmi seakan sia-sia. Tidak ada yang membantu dan menolong Ruhi dari perbuatan mesum itu. Ruhi ingin berteriak, menjerit mengadukan perbuatan Fahmi yang telah melecehkan dirinya kepada sang guru di depan sana. Akan tetapi Ruhi kesulitan membuka bibirnya. Suaranya seakan hilang, Ruhi masih berharap kepada teman-teman yang lain. Miris sekali … bukannya menolong, mereka menertawakan Ruhi. Lisa, Anggun dan Mayang menutup mata, mereka mendukung Fahmi untuk melanjutkan pelecehan itu pada Ruhi.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUHI: Luka dan Trauma
Teen FictionTetap hidup atau mati. Keduanya bukan pilihan yang sulit, Ruhi hanya perlu memilih salah satunya. Memilih hidup artinya Ruhi akan menepati janjinya. Sementara jika memilih mati, maka Ruhi akan mengingkar janjinya dan mengaku kalah dari luka dan trau...