WARNING!
CERITA INI MENGADUNG UNSUR KEKERASAN, PELECEHAN, KATA-KATA KASAR, DAN BEBERAPA HAL BURUK YANG TIDAK PANTAS UNTUK DITIRU.
SEMUA TOKOH, RAS, AGAMA, DAN LATAR HANYA FIKTIF BELAKA.
SELAMAT MEMBACA
Bantu koreksi typonya yaaa.
●●●●
"Kenapa kamu bohong dan menutupinya dari aku?" Ruhi bertanya, ia menatap Alin yang berdiri di depannya. Mereka bertemu di taman tempat biasanya mereka bermain bersama di dekat rumah.
Alin terdiam lama, ia mengembuskan napas perlahan. Sungguh berat bagi Alin untuk menjawabnya. "Aku ... aku khawatir dengan kondisi psikologis kamu yang enggak baik-baik aja akan semakin membuat kamu kesulitan." Alin memberikan jeda panjang, ia menatap Ruhi dalam. "Aku dan Ibu sepakat untuk enggak memberitahukan kepada kamu ... ini salahku, seharusnya aku jujur dari awal." sambung Alin.
Ruhi menggeleng, ia meraih tangan Alin. "Alin ... kita udah banyak melewati masa sulit bersama 'kan?" tanya Ruhi pelan, ia mengusap punggung jemari Alin.
"Memang, tapi dengan menambah bebanku enggak akan membuat kamu tenang." balas Alin. Ia menarik tangannya dari Ruhi, Alin mendongak menatap hamparan lagi.
Ruhi menatap tangannya, "Aku merasa semakin hari kamu semakin menjauh dari aku. Apa ada yang kamu rahasia 'kan. Apa Alambana lebih membuatmu nyaman daripada aku?" Ruhi bertanya lagi, ia menatap Alin yang balas menatapnya.
"Apa maksud kamu, Ruhi? Aku enggak menjauh dari kamu."
Ruhi mengenggam tangannya, ia tersenyum tipis mengingat setiap momen Alin bersama Alambana. "Kita berada dikelas yang sama tapi aku merasa kamu sangat jauh dariku. Sekarang kamu lebih dekat dengan Alambana." kata Ruhi, ada perasaan emosional yang memenuhi benaknya. "Jaraknya semakin jauh, kamu enggak lagi berada di sisiku baik di rumah maupun sekolah." lanjut Ruhi, air mata mengenang pelupuk matanya. Ruhi mengusap pipi—menghapus air mata yang menetes.
Alin mengambil langkah mundur, ia memberikan gelengan. "Ruhi ... enggak pernah sekalipun aku berpikir menjauh dari kamu, apalagi karena Alambana." Alin mengalihkan tatapannya. Menarik napas dalam, matanya memanas dan perih. "Aku enggak pernah mempermasalahkan Manggala yang juga selalu bersama kamu." Alin menatap Ruhi. Alin mengusap bawah matanya.
"Tapi, semenjak adanya Alambana kamu mulai menjauh. Berbeda dari Manggala!" ujar Ruhi, nada suaranya meninggi.
Alin mengerjapkan matanya, "Ruhi ...." Alin kehabisan kata-kata, ia menatap Ruhi dengan tatapan kebingungan. Ia seolah tidak melihat sosok Ruhi yang dikenalnya.
"Ruhi, ada apa denganmu? Kenapa kamu bersikap egois?"
"Aku enggak egois, aku enggak suka kamu dekat dengan Alambana! Kamu selalu bersama dia!"
"Kamu juga selalu bersama Manggala!"
Alin menggeleng-geleng, kakinya bergerak maju, ia meraih tangan Ruhi. "Tatap aku Ruhi. Kamu enggak mungkin bersikap begini, apa kamu dalam masalah?" tanya Alin, mencoba tetap tenang—mencoba menahan diri agar tidak semakin terbawa emosi seperti Ruhi.
Ruhi menatap Alin, ia menggeleng. "Enggak ada alasan apa pun. Aku juga enggak dalam masalah apa pun." jawab Ruhi berbohong. Tidak mungkin ia mengatakan bahwa dirinya menerima berbagai penyiksaan dari ayah dan ibu tirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUHI: Luka dan Trauma
Roman pour AdolescentsTetap hidup atau mati. Keduanya bukan pilihan yang sulit, Ruhi hanya perlu memilih salah satunya. Memilih hidup artinya Ruhi akan menepati janjinya. Sementara jika memilih mati, maka Ruhi akan mengingkar janjinya dan mengaku kalah dari luka dan trau...