15. Cendana Audistira Yasmin

24 1 0
                                    

WARNING!

CERITA INI MENGADUNG UNSUR KEKERASAN, PELECEHAN, KATA-KATA KASAR, DAN BEBERAPA HAL BURUK YANG TIDAK PANTAS UNTUK DITIRU.

SEMUA TOKOH, RAS, AGAMA, DAN LATAR HANYA FIKTIF BELAKA.

SELAMA MEMBACA.



●●●●

"Kamu hati-hati di jalan," Cendana menyerahkan helm kepada Kevin. Cendana mengulum bibir saat Kevin membalasnya dengan anggukan sembari menyimpan helm di depannya.

Kevin menoleh, tangannya menjangkau kepala Cendana. "Kamu jadi tinggal sama Mama?" Kevin bertanya, tangannya menepuk-tepuk kepala Cendana.

Cendana memberikan anggukan, "Jadi, Mama jemput nanti malam." jawab Cendana, langkah kakinya bergerak mundur. "Udaah, pulang sana."

Kevin tersenyum, ia menarik tangannya. "Iya. Kabari aku kalo udah sampai rumah Mama." ucap Kevin, tangan tangannya bergerak menstarter Kawasaki Ninja dua ratus lima puluh Fi

"Iyaa. Dah ...."

Cendana melambaikan tangan, ia terdiam memperhatikan Kevin memutar, menyeberang lalu sosoknya perlahan hilang dari pandangan Cendana.

Cendana menunduk, lalu tumitnya berputar bersama bahunya bergerak —membawa tubuhnya masuk ke dalam rumah. Cendana mengembuskan napas berat saat menemukan sang ayah dan keluarga kecil itu berada di ruang keluarga, sedang menonton bersama.

Cendana melewati mereka dalam diam, melangkah ke tangga. Namun, langkah kakinya tertahan saat namanya disebut.

"Cendana."

Cendana diam, lalu kembali melanjutkan langkahnya.

"Cendana! Papa panggil kenapa tidak menjawab?!"

Cendana menggeleng samar, memilih abai dan berlari menaiki tangga. Cendana membuka pintu kamar, ia masuk dan dengan cepat menguncinya.

Cendana berjalan ke meja belajar, ia melihat tiga koper besar dan lima kartus berukuran sedang sudah tersimpan rapi. Sekarang ia hanya perlu menunggu sang ibu.

"Mandi dulu, terus aku harus belajar sebentar. Seminggu lagi udah mulai ujian kenaikan kelas, nilaiku harus naik." monolog Cendana, ia menarik kursi lalu duduk selama lima menit. Setelahnya Cendana bergerak membersihkan diri lalu belajar.

"Ah, pegal sekali." Cendana bergerak menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi. Cendana melihat jari   tengah dan manisnya memerah, ada kulit yang mengelupas yang menghadirkan perih. Lantas Cendana beranjak, ia membuka ransel dan mengeluarkan kontak P3K—mengambil plester yang diberikan Manggala beberapa waktu lalu.

Cendana mengangkat kepalanya saat ponselnya berdering, langkahnya bergerak cepat meraih ponselnya yang terletak di atas meja. Senyuman terkembang diwajahnya.

Mama Tersayang is calling

"Halo, Ma." sebut Cendana setelah menggeser panel hijau. Cendana menempel ponsel ke telinganya.

"Sayang, Mama sudah jalan ke rumah Papa. Barang-barang kamu sudah diturunkan?"

Cendana menggeleng, tangan kirinya meraba buku-bukunya—membawanya ke atas ranjang lalu meraih tas sekolahnya.

"Belum, Ma. Aku minta tolong sama Bi Iyem." ujar Cendana, ia bergerak cepat menutup tas dan menutup ranselnya.

"Mama sebentar lagi sampai."

RUHI: Luka dan TraumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang