10. Terlalu Banyak Luka

43 2 0
                                    

WARNING!

CERITA INI MENGADUNG UNSUR KEKERASAN, PELECEHAN, KATA-KATA KASAR, DAN BEBERAPA HAL BURUK YANG TIDAK PANTAS UNTUK DITIRU.

SEMUA TOKOH, RAS, AGAMA, DAN LATAR HANYA FIKTIF BELAKA.

SELAMAT MEMBACA.





●●●●

Ruhi menutup buku tulisnya, ia sudah selesai mencatat rangkuman mata pelajaran Bahasa Indonesia. Ruhi berbalik ke kiri, melihat keluar jendela saat bel jam istirahat pertama berbunyi.

"Ruhi mau ke kantin?" ajak Cendana setelah siswa-siswi kelas IPA-2 berbondong-bondong ke luar kelas, bersama-sama menuju kantin.

Ruhi memutar tubuh ke kanan, kakinya keluar dari bawah meja. "Aku mau ke perpustakaan." Ruhi membalas, lalu tatapannya beralih pada Manggala yang berjalan ke mejanya.

"Kamu nggak lapar? Beli jajan dulu, di perpustakaan juga diizinkan makan." Manggala berujar, menatap Ruhi dan mengangguk saat Ruhi memikirkan tawaran itu. "Kita bakal ke perpustakaan bareng." Manggala menunjuk dirinya, Cendana dan Kevin.

Ruhi melihat teman-temannya bergantian, kepalanya mengangguk lalu mengambil Mp3 player dan wired earphones. Ruhi berdiri, dan menunjukkan senyuman kecil saat Cendana berlari padanya dan merangkulnya.

Teman-temannya, Ruhi sudah mengakui bahwa ia mempunyai teman.

"Ayoo."

Ruhi melangkah seiring langkah Cendana, ia memutar kepala melihat ke belakang bersama bahunya memiring menatap Manggala dan Kevin.

Cendana melihat keadaan kantin yang begitu menyesakkan, "Heem, aku belikan punya kamu, Ruhi. Kantin di jam istirahat memang selalu ramai." Cendana menoleh pada Ruhi, memperhatikan raut kecemasan yang berusaha disembunyikan dibalik raut wajah datarnya.

Ruhi menggepalkan tangan, kakinya melangkah mundur tanpa di sadarinya dan Manggala melihat itu. Kecemasan yang menyeruak naik.

Manggala melangkah maju, "Aku dan Kevin aja yang belikan, kalian berdua ke perpustakaan aja." cetus Manggala, tangannya meraih kepalan tangan Ruhi. "Kalo enggak sanggup mainkan gelang yang aku berikan." sambung Manggala pelan di samping telinga Ruhi.

Manggala menepuk kepala Ruhi sebelum menjauh bersama Kevin masuk ke dalam lautan manusia yang berusaha menggapai apa yang diinginkan.

Cendana menurunkan lengannya lalu membawa telapak tangan menggenggam tangan kanan Ruhi. "Aku tau kamu cemas karena keramaian. Seharusnya aku enggak meminta kamu ke kantin." kata Cendana, menunjukkan senyuman tulus saat Ruhi menatapnya.

Ruhi memberikan gelengan, ia menunduk pada genggaman Cendana yang mengantarkan perasaan tenang. "Enggak, bukan salah kamu. Hanya aku yang belum bisa mengontrol diri." sanggah Ruhi, ia terdiam beberapa detik, merasakan debar jantung yang memelan. "Ayo ke perpustakaan." Ruhi melangkah, membawa Cendana berbelok ke kiri dan berjalan lurus ke perpustakaan yang terletak di bekalang kelas satu IPS-3.

Cendana melebarkan senyumannya, perasaan senang memenuhi dirinya menyadari Ruhi mulai membuka ruang yang tertutup rapat. Cendana menunduk melihat langkah kaki mereka bergerak seirama.

"Ruhi, aku selalu menunggu hari di mana kamu akan menerima aku sepenuhnya. Aku akan terus bersabar sampai kamu benar-benar membuka hati dan diri."

Ruhi diam mendengarkan, raut wajahnya menunjukkan ketidakyakinan, akan tetapi Ruhi menggeleng samar. Ini sudah waktunya bagi Ruhi membuka diri, menerima orang-orang yang berusaha mendekat padanya. Karena semakin Ruhi menutup diri dari dunia, Ruhi semakin merasakan kesakitan yang luar biasa.

RUHI: Luka dan TraumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang