WARNING!
CERITA INI MENGADUNG UNSUR KEKERASAN, PELECEHAN, KATA-KATA KASAR, DAN BEBERAPA HAL BURUK YANG TIDAK PANTAS UNTUK DITIRU.
SEMUA TOKOH, RAS, AGAMA, DAN LATAR HANYA FIKTIF BELAKA.
SELAMAT MEMBACA
Bantu koreksi typonya yaaa.
Jangan lupa vote dan komennya yaa❤️
●●●●
Ruhi mengikat erat tali sepatunya, lalu kepalanya tertoleh ke samping melihat Alin berjalan keluar sambil menenteng sepatu.
Ruhi berdiri lalu melangkah ke garasi—mengambil sepeda. Ruhi menunggu Alin selama dua menit.
"Ibu ada kasih uang jajan lebih." Ruhi menatap uang di tangan Alin, lalu mengangguk.
"Simpan di tas aja, ayo naik. Takutnya nanti kita telat dihari pertama kembali sekolah."
Alin duduk di belakang, sebelum Ruhi mendayuh sepeda Alin menyimpan uang Ruhi ke dalam tas. Kemudian ia menepuk punggung Ruhi. "Ayo, ayo." seru Alin, memegang erat kedua sisi tas Ruhi.
Ruhi mengangguk, bibirnya menggulum saat menambah kecepatan laju sepeda.
"Aku nggak liat Ayah sama sekali sejak kita pulang waktu liburan sekolah." ujar Alin, mengangkat kepalanya ke atas melihat langit.
"Enggak pulang lagi juga bukan urusan kita." sahut Ruhi, selama hampir setengah bulan ayahnya memang tidak terlihat sama sekali di rumah. Ruhi hanya bertemu sang ibu setiap tengah malam keluar mengambil minum.
Alin tertawa kecil mendengarnya. "Kasian Ibu capek kerjanya."
Ruhi menggeleng, "Ibu kerja atau enggak sama aja capeknya." Ruhi menurunkan kaki dan membunyikan lonceng sepeda saat melihat ada motor yang melaju cepat. Ruhi mengerutkan keningnya dalam, lalu memasang ekspresi kesal saat ia hampir saja tertabrak.
"Bawa motor kayak lagi lomba aja, untungnya enggak kena." keluh Ruhi, Alin mengusap-usap punggung Ruhi.
"Sabar, masih pagi jangan marah-marah."
Ruhi menggeleng, lalu membelokkan sepeda masuk ke jalan pintas. "Enggak marah." balas Ruhi pelan. Butuh waktu dua puluh menit hingga keduanya sampai ke SMAN 1 Bogor. Ruhi menurunkan kaki, lalu melirik kepada Alin yang turun dari sepeda.
"Aku mau langsung ke kelas."
"Iya."
Ruhi mengangkat kaki kanan, kembali mendayuh sepeda ke area parkir khusus sepeda. Setelah memarkirkan sepeda, Ruhi melangkah dengan kepalanya tertunduk menatap gerak kakinya.
Ruhi mengembuskan napas pelan, lalu kepalanya terangkat saat merasakan tepukkan dikepalanya.
"Ruhi." sebut Manggala memasang senyuman di wajahnya.
Ruhi menatap Manggala lalu memalingkan wajahnya tanpa mengatakan apa pun.
Manggala merongoh saku celananya, mengambil gelang yang penuh dengan warna-warni yang bercampur. Kemudian Manggala meraih tangan kiri Ruhi, membuka telapak tangannya lalu menyimpan gelang di tangan Ruhi.
"Hari ini enggak ada plester karena enggak ada lukanya." kata Manggala melihat Ruhi yang tetap membisu.
Ruhi menoleh, "Kamu cukur rambut?" Ruhi memicingkan mata saat terik matahari menghalau penglihatannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUHI: Luka dan Trauma
Teen FictionTetap hidup atau mati. Keduanya bukan pilihan yang sulit, Ruhi hanya perlu memilih salah satunya. Memilih hidup artinya Ruhi akan menepati janjinya. Sementara jika memilih mati, maka Ruhi akan mengingkar janjinya dan mengaku kalah dari luka dan trau...