WARNING!
CERITA INI MENGADUNG UNSUR KEKERASAN, PELECEHAN, KATA-KATA KASAR, DAN BEBERAPA HAL BURUK YANG TIDAK PANTAS UNTUK DITIRU.
SEMUA TOKOH, RAS, AGAMA, DAN LATAR HANYA FIKTIF BELAKA.
SELAMAT MEMBACA.
Bantu koreksi typonya, yaa.
⊙⊙⊙⊙
“Enggak usah sekolah besok,” ucap Ruhi yang tengah memberikan beberapa tetes air pada sebuah tamanan kaktus mini. “Jangan maksa tetap sekolah kalo kaki kamu aja sakit kalo dibawa jalan.” Lanjut Ruhi, kelapanya mendongak menatap ke atas. Dibalik jendela kamarnya Ruhi bisa melihat bulan bersinar terang, namun sayangnya tidak ada bintang menemani.
“Aku bisa jalan kok,”
Ruhi memutar kepala ke belakang, menoleh pada Alin yang kini berusaha berjalan meski wajahnya menunjukan ringisan tertahan. Ruhi menghela napas pendek, lalu meninggalkan kaktus dan jendala dibiarkan terbuka.
“Besok aku izinin kamu ke wali kelas kamu, lagipula harus ada salah satu dari kita menjaga Ibu. Sangat kebetulan luka kamu lebih parah.”
Ruhi mengusap sudut mata, ada rasa sesak menghampiri ketika mengingat kembali apa yang terjadi empat jam lalu saat Ruhi dan Alin menggering ibu ke ranjang, mengobati luka ibu dan membersihkan pecahan vas di lantai.
“Hm, oke.” Alin menjawab singkat, tatapnya menyorot kosong ke atas langit-langit kamar yang bertabur bintang dan tata surya.
Jarum jam menunjukan pukul setengah satu malam,. Sudah larut malam dan ayah belum kunjung kembali pulang setelah pergi meninggalkan rumah. Mungkin saja ayah memang tidak akan pulang sampai besok seperti yang terjadi sebelum-sebelumnya. Ayah memilih kabur entah ke mana.
Ada kepingan-kepingan kenangan membayang dalam ingatannya, dulu Alin banyak sekali mendengar suara-suara tawa dalam rumah atau ketika Alin, Ruhi dan ibu menyambut ayah pulang membawa pulang pizza atau fried chiken di depan pintu. Semua yang terjadi dulu berbanding terbalik ketika tawa itu berubah menjadi jeritan maupun teriakan saling sahut-menyahut. Tidak ada lagi yang menyambut ayah di depan pintu.
Alin tidak ingat sejak kapan dunianya yang terang berubah … gelap.
Ruhi menatap kain kasa yang membalut lengannya, menutupi luka gores memanjang. Disentuhnya ringan sepanjang balutan hingga menemukan plaster perekat, lalu Ruhi membukanya kasar— membiarkan luka itu tidak tertutupi oleh apa pun.
⊙⊙⊙⊙
“Ruhi.”
Di depan sana ada yang melambai-lambai, lalu membawa kakinya berlari kecil kearah Ruhi. “Cendana.” Sebut Ruhi pelan.
“Ke kelas bareng, yuk.” Cendana, gadis dengan rambut terkepang dua itu merangkul lengan Ruhi. “Alin nggak bareng sama kamu?”
Ruhi menggeleng, lalu berusaha menarik kembali lengannya selembut mungkin. Mengontrol raut wajahnya agar tidak kentara menunjukan sakit pada lengannya. “Alin enggak masuk.” jawab Ruhi. Ruhi bergerak ke samping, memberikan ruang diantara dirinya dan Cendana.
Kepala Cendana meneleng, menyadari tindakan Ruhi menjaga jarak darinya. Tatap matanya turun, melihat Ruhi menarik-narik handsock untuk menutupi penggelangan tangan. “Kenapa? Alin sakit, ya?”
“Iya.”
Cendana mengangguk-angguk, “Oh, eng….” Cendana menggigit bibir dalam, berusaha menahan diri sambil meremas rok karena dia tahu ketika membuka mulut akan ada banyak pertanyaan dilayangkan kepada Ruhi dengan menggebu-gebu. Akan tetapi Cendana harus tetap diam karena Ruhi itu bagai bayangan dalam gelap, hadirnya tidak akan terlihat—seolah memang sengaja mengasingkan diri. Dan ketika ada yang mengetahui radarnya, Ruhi akan segera menjauh, mencari-cari bayang gelap yang lain. Ruhi selalu menciptakan jarak dari semua orang termasuk Cendana. Maka dari itu Cendana harus tetap bisu, kendati matanya tidak buta untuk melihat yang tertutup.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUHI: Luka dan Trauma
Teen FictionTetap hidup atau mati. Keduanya bukan pilihan yang sulit, Ruhi hanya perlu memilih salah satunya. Memilih hidup artinya Ruhi akan menepati janjinya. Sementara jika memilih mati, maka Ruhi akan mengingkar janjinya dan mengaku kalah dari luka dan trau...