WARNING!
CERITA INI MENGADUNG UNSUR KEKERASAN, PELECEHAN, KATA-KATA KASAR, DAN BEBERAPA HAL BURUK YANG TIDAK PANTAS UNTUK DITIRU.
SEMUA TOKOH, RAS, AGAMA, DAN LATAR HANYA FIKTIF BELAKA.
SELAMAT MEMBACA.
●●●●
Ruhi duduk di taman sekolah, ia mendengarkan lagu Pamit dari Tulus sambil membaca novel—menikmati jam istirahat sendirian membuatnya tenang. Dalam menit ketiga Ruhi mengerjapkan mata, ia melihat langit siang hari yang indah dengan kebiruannya.
Indah, Ruhi tidak tahu apa ia bisa melihat pemandangan indah. Ruhi tidak tahu, karena di dalam dirinya hanya ada kegelapan yang berteman dengan kesuraman.
Ruhi tidak tahu bagaimana akhir hidupnya. Namun, Ruhi akan selalu memegang kepercayaan yang membuatnya tetap hidup.
"Hidupku udah seperti di neraka, jika aku memilih pulang maka aku akan selamanya berada dalam neraka." Ruhi menggumam, lalu menaikkan kaki ke kursi panjang—merebahkan tubuhnya.
Sudut bibir Ruhi berkedut saat seekor burung terbang melewatinnya. Ya, seperti burung, Ruhi pasti akan melewati masa sulitnya.
Kemudian Ruhi memejamkan mata, ada lelehan air mengalir lancar dari kedua sudut matanya. "Aku hanya perlu menepi agar tidak tersakiti lagi." bisik Ruhi, lalu Ruhi membawa lengan memeluk dirinya—mengusap-usap bahunya agar kesedihannya berlalu.
Namun, tetap saja pikiran-pikiran kacau enggan enyah dari kepalanya, Ruhi membiarkan air matanya mengalir bebas sampai tujuh menit kemudian Ruhi kembali merasakan ketenangan.
Ruhi sadar perasaan emosional ini akan tetap tinggal selama seminggu ke depan, lalu setelahnya akan berganti dengan perasaan senang yang sulit dikendalikan oleh dirinya.
"Ruhi ...."
Mata Ruhi membuka, sinar matahari yang terik tertutupi oleh tubuh yang berdiri di sisinya. "Kenapa?" Ruhi bertanya pelan seraya menurunkan kaki dan kembali duduk dengan benar. Ruhi melepaskan wired earphones dari telinganya.
Sekarang Ruhi sudah terbiasa dengan kehadiran yang memaksa masuk dalam kehidupannya. Meskipun melakukan pengabaian, sikap dingin dan tidak peduli, Manggala masih bertahan.
Manggala mengangkat pelan tangannya yang membawa dua bungkus roti dan dua minuman. "Cendana bilang kalo kamu enggak ada di kelas atau di kantin itu artinya kamu ada di taman. Dan, aku menemukan kamu, Ruhi." Manggala menempelkan minuman dingin ke pipi Ruhi, ia tersenyum tipis saat Ruhi mengambil jarak.
"Tujuan kamu apa mendekati aku?"
Ruhi menunduk pada minuman yang di taruh Manggala ke pangkuannya. Ruhi memiringkan tubuhnya menghadap Manggala. "Apa yang kamu cari?" Ruhi bertanya lagi, keningnya berkerut dalam lalu membenarkan posisi duduknya.
Manggala membuka bungkusan roti, lalu menaruhnya lagi ke pangkuan Ruhi. "Aku bukan orang yang bisa mengabaikan apa yang menurutku salah." Manggala meluruskan kaki, lalu melihat ke langit. Cendana memang benar, Ruhi sulit di dekati. "Aku memang nggak tau apa yang telah kamu lalui, Ruhi. Tapi aku melihat lukamu begitu dalam. Meskipun kamu menjauhkan diri, bukan berarti tidak ada yang mengetahui keberadaannya kamu." Manggala mengambil jeda panjang, lalu ia menoleh pada Ruhi yang membisu.
"Meskipun kamu terus memberikan penolakan, aku akan terus berusaha mendekat. Aku nggak bermaksud menyakitimu, Ruhi." Manggala menunduk—melihat kuku jempol Ruhi menekan-nekan telunjuknya hingga kulitnya terkelupas. "Kamu sedang mencemaskan apa, Ruhi?" Manggala bertanya pelan, kepalanya menggeleng lalu menarik tangan kanan Ruhi.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUHI: Luka dan Trauma
Ficção AdolescenteTetap hidup atau mati. Keduanya bukan pilihan yang sulit, Ruhi hanya perlu memilih salah satunya. Memilih hidup artinya Ruhi akan menepati janjinya. Sementara jika memilih mati, maka Ruhi akan mengingkar janjinya dan mengaku kalah dari luka dan trau...