26. Mulai Terbiasa

33 2 0
                                    

WARNING!

CERITA INI MENGADUNG UNSUR KEKERASAN, PELECEHAN, KATA-KATA KASAR, DAN BEBERAPA HAL BURUK YANG TIDAK PANTAS UNTUK DITIRU.

SEMUA TOKOH, RAS, AGAMA, DAN LATAR HANYA FIKTIF BELAKA.

SELAMAT MEMBACA

Bantu koreksi typonya yaaa.


●●●●


Alin meluruskan kakinya, duduk diam seorang diri di atas trimbun memperhatikan permainan bola basket. Alin hanya sedang sendiri saja, ada banyak hal yang ia pikirkan termasuk soal penyakitnya yang sampai hari ini masih ia sembunyikan dari Ruhi.

Alin merasa itu tidak benar, harusnya ia terbuka kepada Ruhi seperti Ruhi yang tidak menutupi apa yang seharusnya ia ketahui. Namun, semakin Alin memikirkannya, Alin merasakan bahwa ada Ruhi juga memiliki rahasia yang disembunyikan darinya.

Alin menggeleng saat pikiran negatif menghantuinya. Alin seharusnya ia berpikir positif dan memikirkan waktu yang tepat untuk memberitahukan keadaannya kepada Ruhi.

"Alin."

Alin menaikkan manik matanya, menatap Alambana yang naik ke atas trimbun lalu duduk di sisinya. Alambana mengelap keringat di pelipis dan lehernya dengan handuk lalu membuka tutup botol air mineral.

"Kenapa duduk dekat aku?" Alin bertanya, ia menatap sinis Alambana.

Alambana tersenyum, ia memiringkan kepalanya menatap Alin. "Memang tidak boleh?" tanya Alambana.

Alin memalingkan wajahnya, "Enggak ada larangan tapi kenapa harus di dekat aku, trimbunnya masih luas." balas Alin. Alin menggulum bibir, kakinya bergerak mengayun.

Alambana mengangguk pelan, lalu menyimpan handuk kecil di atas pahanya. "Itu artinya aku bebas duduk dimana saja karena aku maunya di dekat kamu." ujar Alambana membuat Alin menaikkan sudut bibirnya ke atas dan memutar bola matanya.

"Kenapa sendiri saja?" Alambana kembali bertanya, ia meluruskan kakinya lalu menopang tubuhnya dengan kedua tangannya.

Alin mengangkat bahunya, "Hanya sedang mau sendiri aja. Makanya kamu tuh jauh-jauh!" keluh Alin, membuat Alambana tertawa kecil melihat raut wajah lucu yang ditunjukkan Alin.

"Kenapa ketawa?!"

Alambana menggeleng, "Kamu lucu."

Alin mengerutkan keningnya dalam, lalu menunjuk Alambana. "Aku serius, ya!" ujar Alin tidak terima.

"Aku juga serius."

Alin memasang raut wajah cemberut, ia bergeser memberikan jarak kepada Alambana.

Alambana menaikkan sebelah alisnya lalu ikut bergeser ke sisi Alin. "Cantik." sebut Alambana saat Alin hendak memberikan protes.

Alin mengatupkan bibirnya, bola matanya menatap ke atas lalu meniup poninya. "Enggak mempan." Alin memejamkan mata saat ia melihat trimbun yang membayang dimatanya. "Ah ...." sebut Alin, tangannya menyentuh pahanya.

"Alin."

Alambana bergerak cepat mengambil handuknya lalu menutup hidung Alin yang mengeluarkan darah. Alin merasakan kepalanya pusing.

"Kamu mimisan." Alambana menurunkan kepala Alin agar tidak mendongak. "Jangan bergerak." titah Alambana. Alambana mengusap bawah hidung Alin.

Alin memegang punggung tangan Alambana, lalu ia menarik tangan Alambana menjauh. Alin melihat darah di handuk Alambana cukup banyak.

RUHI: Luka dan TraumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang