05. Masa Kelam Dibawah Langit

60 3 0
                                    

WARNING!

CERITA INI MENGADUNG UNSUR KEKERASAN, PELECEHAN, KATA-KATA KASAR, DAN BEBERAPA HAL BURUK YANG TIDAK PANTAS UNTUK DITIRU.

SEMUA TOKOH, RAS, AGAMA, DAN LATAR HANYA FIKTIF BELAKA.

SELAMAT MEMBACA.

Bantu koreksi typonya, yaa

⊙⊙⊙⊙

Selasa, 10 November 2015

Memasuki gang Selot, roda sepeda tiba-tiba saja tidak bisa dikanyuh membuat kakinya sontak menampak jalanan becek, ada dua kubangan kecil dan satu kubangan besar berjarak satu meter dari tempatnya. Kepala Ruhi berputar ke belakang, ada desah kesal ketika mendapati rantai sepeda merah mudanya lepas.

“Kenapa harus sekarang, sih!” keluh Ruhi, lantas turun dari sepeda, mestandar sepeda lalu mengambil posisi jongkok. Ah, Ruhi nyaris ingin berteriak karena rantainya tidak hanya terlepas tetapi juga putus. Namun, suaranya tertahan di kerongkongan saat ekor matanya menangkap ada yang keluar dari gang di arah Barat.

Ruhi berdiri, mengambil jeda langkah untuk mengeratkan ikatan jaket dipinggang yang menutupi noda darah diroknya. Setelahnya, barulah Ruhi mendorong sepeda, kaki Ruhi bergerak ke dekat tembok ketika melewati seorang lelaki bertubuh besar bersandar di tembok kiri, ada perasaan cemas saat mendengar suara siulan.

“Neng, nuju kemana?

Ruhi mempercepat langkah kaki, mengabaikan pertanyaan itu. Ruhi berbelok ke persimpangan, pengangan Ruhi mengerat ketika merasakan ada yang mengikuti. Ruhi merutuki pilihannya mengambil jalan jauh melewati jalan Selot dekat dengan gedung Pusat Pastoral Keuskupan.

“Neng, naha anjeun leumpang gancang pisan?” tanya lelaki di belakang sana.

Tubuh Ruhi meremang, langkahnya terhenti saat sebuah tangan mecengkram bahu kanannya. Ruhi menggerakan bahu cepat, menampik  tangan dibahunya dengan kuat bersama jatuhnya sepeda merah muda—tergeletak di atas genangan air keruh.

“Saya mau pulang, Jangan ganggu saya, Kang!” seru Ruhi cepat.

Usaha Ruhi berhasil. 

Lelaki hitam berperut buncit itu diam di tempat, memperhatikan gadis yang tengah membangunkan sepeda dengan tatapan lapar. Lidahnya menjilat bibir hitam karena rokok, lalu bersiul-siul memperhatikan gadis manis yang tengah berusaha melarikan diri.

“Neng, Akang jangan ditinggal, dong.” Dia tertawa, perutnya sampai bergetar. Kemudian mengambil langkah mengejar gadis manis itu.

“Lari yang kenceng Neng biar akang kejar.”

Ruhi menangis, ketakutan jelas terlihat diwajahnya ketika menemukan jalan buntu di depan mata. Kaki Ruhi lemas kala mendengar siulan di belakang sana semakin jelas. Ruhi tidak berani berbalik, otaknya penuh mencari-cari cara agar terbebas dari situasi ini.

“Hayoo, mau kemana, Neng? Eta jalan buntu, Neng.”

Ruhi membisu, tangannya luruh ke sisi tubuh, menutup mata—enggan melihat kearah sepeda yang jatuh di dekat kaki.

RUHI: Luka dan TraumaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang