WARNING 21!
CERITA INI MENGADUNG UNSUR KEKERASAN, PELECEHAN, KATA-KATA KASAR, DAN BEBERAPA HAL BURUK YANG TIDAK PANTAS UNTUK DITIRU.
SEMUA TOKOH, RAS, AGAMA, DAN LATAR HANYA FIKTIF BELAKA.
SELAMAT MEMBACA.
Bantu koreksi typonya, yaa.
Tau cerita ini dari mana?
●●●●
Manggala memperhatikan lukisan di dinding ruang kerja ibunya, lalu bergerak ke meja—menarik modul lalu melepasnya sehingga modul itu bergerak menyagun, di sampingnya ada papan nama dr. Kinan Langki Bhanuresmi, Sp. KJ. Ada senyum mengembang di wajah Manggala, lalu tangan kiri Manggala mengambil satu buku di tumpukan meja. Manggala membaca judulnya, “Psikologi Kepribadian: Menyelami Misteri Kepribadian Manusia.”
Lalu jemarinya membuka asal lembarnya—berhenti di halaman delapan puluh enam. Kaki Manggala bergerak kearah kursi bundar, duduk sambil memangku kaki kanan. “Dalam pandangan Sufisme, otak bukanlah kita sebagaimana yang kita sadari. Indetitas ideal yang kita miliki berada jauh melampuai level fisik—“
Suara derit pintu membuat Manggala mengalihkan atensinya dari buku yang sedang dibaca. Manggala melihat ke depan, pintunya membuka “Ambu.” sebut Manggala, tersenyum melihat sang ibu lalu Manggala menutup buku. Manggala berdiri, membawa langkah mendekat ke ibunya.
“Ambu kira teu ada orang, ternyata ada Aa,” Kinan menaruh mug yang dibawanya ke atas meja, lalu melirik buku bacaan putranya.
Manggala menyimpan kembali buku di tangannya ke tempat semula, “Iya, tadi Aa iseng masuk, tapi lihat ada buku baru.” kata Manggala, menarik kursi di depan meja untuk ibunya duduk.
Kinan tersenyum melihat perlakuan manis Manggala, “Terima kasih, Aa manis sekali, ada yang mau ditanya pasti, teu mungkin iseng masuk saja.” ujar Kinan, menyipitkan mata memperhatikan putranya.
Manggala tertawa dan mengangguk-angguk, “Ambu tau aja, iya ada yang Aa pengen tau.”
“Lama?” tanya kiran mempertanyakan seberapa lama dan menimbang akan arah pembicaraannya.
Manggala mengerukan kening, berpikir akan seberapa lama, lalu menggeleng dan mengangguk-angguk. “Bisa lama dan bisa enggak, Ambu. Tergantung apa nanti ada banyak yang ingin Aa tau juga, dan tergantung perusuh datang atau nggak.” Manggala tertawa di akhir kalimatnya, Manggala menatap Kinan. “Ada sesuatu yang memang harus Aa tanyakan sama Ambu.”
Kinan ikut tertawa, lantas membalas, “Lagi main sama Ayah perusuhnya.” Kinan memperhatikan raut wajah Manggala, senyuman terkembang diwajahnya. Namun, sorot matanya menunjukkan sesuatu yang lain. “Tanyakan apa yang ingin Aa tanyakan.” kata Kinan.
Manggala mengangguk, ia terdiam selama lima detik, lalu kepalanya tertunduk. “Teman Aa punya teman, temannya itu selalu menarik diri lingkungan sosial. Dan temannya melihat ada bekas lebam dan luka di wajahnya yang selalu ditutupi sampai tidak ada yang menyadari.” Manggala menuduk dalam, ia ingat jelas bekas luka diwajah Ruhi. Ada jeda panjang, Kinan tersenyum melihat Manggala yang kembali menatapnya.
“Lalu bagaimana teman Aa masih menutup diri?”
Pupil mata Manggala melebar, ia menggeleng cepat. “Bukan teman Aa—” sanggah Manggala, lalu mendesah pelan saat menyadari senyuman ibunya. “Ya, Aa tau dia ada di kelas yang sama dengan Aa, tapi dia enggak mengenal Aa ataupun teman yang lain. Dia seperti bayangan dalam kegelapan.” ujar dan kemudian Manggala merebahkan punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUHI: Luka dan Trauma
Teen FictionTetap hidup atau mati. Keduanya bukan pilihan yang sulit, Ruhi hanya perlu memilih salah satunya. Memilih hidup artinya Ruhi akan menepati janjinya. Sementara jika memilih mati, maka Ruhi akan mengingkar janjinya dan mengaku kalah dari luka dan trau...