Tadi malam, Alma menginap di hotel. Ia kembali ke apartemen pada pagi hari karena tidak membawa pakaian ganti dan berpikir Edelson sudah pergi dari apartemen. Lagi pula untuk apa Edelson tetap berada di apartemen jika tidak ada dirinya. Namun, dugaannya salah karena Edelson masih tidur di kamar apartemen. Ia hendak kembali keluar dengan perlahan karena tak mau Edelson tahu kehadirannya, namun saat mendengar Edelson mengigaukan namanya dengan tubuh menggigil, Alma pun menghampirinya.
Alma menyentuh kening Edelson dan terasa panas bahkan pria itu berkeringat dingin, namun anehnya tetap memakai selimut. Ia pun mematikan AC dan memeluk pria itu.
"Kau sakit? Sejak kapan?"
"Beberapa jam setelah kau pergi," ucap Edelson dengan nada terbata-bata, pria itu tampak lemah saat berusaha membalas pelukannya.
"Mau ke rumah sakit?" tanya Alma dengan nada lembut sambil mengusap keringat di leher kekasihnya. Edelson menggeleng sebagai jawaban, Alma pun tak memaksa dan menyediakan obat yang selalu ia sediakan untuk berjaga-jaga jika Edelson sakit. Ia pun menelepon pihak hotel untuk memesankan bubur serta sarapan untuknya dan Edelson. Ia mengambil air hangat dan sapu tangan serta pakaian ganti untuk pria itu. Suara bunyi bel membuat ia bergegas mengambil pesanannya yang dibawakan pelayan.
"Bangun dulu, makan, minum obat, dan ganti pakaian. Bajumu basah karena keringat."
"Aku tidak kuat, Alma," balas Edelson manja. Alma yang sudah pernah mengurus Edelson saat sakit tak kaget lagi melihat sikap Edelson yang berubah drastis dari pemarah jadi manja.
"Baiklah, tapi buka mulutmu. Kau harus makan agar ada tenaga," ucap Alma lalu menyuapkan bubur yang tadi ia pesan. Edelson membuka mulut dengan perlahan dan hanya mengunyah setengah dari suapan Alma. Bahkan untuk mengunyah makanan lembut pun, pria itu sangat lambat. Namun, Alma tetap sabar menunggu dan kembali memasukkan bubur saat mulut Edelson berhenti mengunyah.
"Cukup, aku sudah kenyang."
Alma mengangguk dan berhenti menyuapkan bubur karena dirasa sudah cukup banyak. Ia meminta Edelson menelan obat-obat yang disiapkannya dan dia menurut.
"Edelson, buka dulu bajumu."
"Kenapa tidak kau saja yang buka?" tanya Edelson yang menggoda Alma. Mau sakit atau sehat, otak Edelson tetap saja kotor saat berhadapan dengan Alma.
"Baiklah, aku akan jadi sustermu yang penurut," jawab Alma lalu menaiki tubuh Edelson. Ia membuka kancing kemeja yang dipakai Edelson sejak semalam, tak lupa memberikan usapan lembut di dada bidang kekasihnya. Setelah kemeja terlepas, ia memakaikan kaos yang dipilihnya tadi pada Edelson.
"Maafkan aku," ucap Edelson saat Alma selesai mengganti pakaiannya.
"Untuk apa?"
"Untuk kejadian tadi malam. Aku sadar sudah kelewat batas. Bahkan kau masih mau merawatku walaupun aku sudah menyakitimu semalam," balas Edelson merasa bersalah setelah melihat betapa tulusnya Alma merawatnya. Alma bahkan tak membahas perihal semalam atau membencinya, terkadang ia heran kenapa perempuan sebaik Alma mau bertahan pada hubungan terlarang ini.
"Kau tidak salah. Wajar jika seorang suami marah pada orang yang menyakiti istrinya."
*****
Hari ini adalah hari ulang tahun mendiang ibunya. Setiap tahun ia akan mengunjungi makam ibunya untuk ziarah dan memanjatkan doa pada ibunya agar tenang di alam sana, namun ia ragu jika doanya diterima Tuhan. Ia seorang pendosa dan Tuhan tak menyukai hambanya yang melakukan dosa.
Dengan pakaian serba hitam dan membawa keranjang kecil berisi bunga, ia duduk di samping gundukan tanah yang terdapat jenazah ibunya di dalamnya. Ia tak terlalu mengingat bagaimana rupa ibunya karena ibunya meninggal saat ia masih balita, namun ia ingat bagaimana ibunya menyayanginya dan merawatnya dengan penuh kasih sayang, sebelum akhirnya ibunya meninggal dan ia ditaruh di panti asuhan. Mungkin bagi dunia, ibunya adalah wanita iblis yang mampu menyakiti siapa pun. Namun baginya, ibunya adalah wanita baik, tulus, dan penyayang. Ia menabur bunga di atas tanah kuburan mendiang ibunya lalu memanjatkan doa untuk ibunya.
"Selamat ulang tahun, Bu. Seperti biasa, aku datang ke sini untuk mendoakanmu. Aku merindukan, Bu. Setiap menit di hidupku selalu berharap kau kembali, walaupun aku tahu itu tak mungkin," ucap Alma dengan nada serak. Ia yang dikenal kuat oleh orang lain, nyatanya tak pernah mampu menahan air mata dan tangisan saat mengunjungi makam ibunya.
"Aku tidak tahu kau senang atau sedih saat melihatku saat ini. Bu, aku bimbang, apa yang kulakukan saat ini benar atau salah?" tanya Alma seorang diri, seakan-akan ada ibunya yang akan mendengarkan perasaannya saat ini. Ia tak punya teman cerita selain ibunya yang sudah meninggal, sehingga ia hanya bisa mengadu keluh kesahnya di depan batu nisan ibunya. Ia tak bisa menceritakan perasaannya pada orang lain karena ia tahu hanya penghakiman dan hinaan yang akan ia dapatkan.
"Kau kenal Liya kan, Bu? Dulu seperti apa dirinya? Apa dia pantas mendapatkan balas dendamku? Kadang kala aku merasa bahwa dia tidak bersalah, namun kadang kala aku membencinya karena dia mendapatkan semua yang tidak kudapatkan. Kalau bukan Liya dan keluarganya, lantas siapa yang harus kusalahkan atas penderitaan kita, Bu? Pria yang harusnya kupanggil ayah dan bertanggung jawab atas penderitaanku sudah meninggal. Kenapa dia harus meninggal secepat itu? Aku ingin melihatnya menderita dulu."
Bohong jika Alma mengatakan bahwa ia senang dengan kehidupannya saat ini. Ia bahkan tak bisa tenang saat tidur karena terus memikirkan sebanyak apa dosa yang sudah ia lakukan. Sekeras apapun ia menyalahkan Liya dan keluarganya atas kehidupannya saat ini, namun hati kecilnya tahu bahwa ia yang salah.
Tetesan air mata jatuh membasahi pipinya, tatapan penuh penyesalan saat membayangkan setiap perbuatannya yang berusaha merusak kehidupan Liya. Ternyata menjadi tokoh antogonis sangat menyakitkan karena harus melawan hati nuraninya sendiri.
"Bu, berikan aku petunjuk, apa yang harus kulakukan? Apa salah jika aku ingin mengambil hakku sebagai seorang anak, kalau mereka bisa bahagia, kenapa kita menderita?"
*****
Tangerang, 02 Juli 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Mutiara Hitam
RomanceAlmaretha atau Alma, gadis yatim piatu yang hidup sebatang kara setelah keluarga mendiang ibunya membuang ia ke panti asuhan. Di dunia ini, tak ada yang ingin menjadi pemeran jahat, namun Alma terpaksa melakukannya. Ia terpaksa menjalin kasih denga...