Liya terkejut saat mendengar suara Alma setelah sekian lama. Ia tak menyangka jika Alma sudah bisa bicara. Jantungnya berdegub kencang karena panik. Edelson ada di luar dan Alma bisa mengatakan apapun saat ini. Ia bergegas keluar dan menutup pintu ruangan.
"Edelson, ayo kita pulang," ucap Liya saat dokter dan suster sudah pergi.
"Apa? Kita baru saja datang dan kau belum mengatakan apapun padanya. Kau ingat kan apa yang kukatakan sebelum kita ke sini?" tanya Edelson yang kesal dengan sikap tak bertanggung jawab Liya.
Tadi pagi, Liya melarangnya menjenguk korban. Alasannya tak jelas yaitu Liya tak suka ia terus menjenguk korban. Padahal, Liya jelas tahu bahwa wanita yang menjadi bisu itu karena Liya sendiri. Tapi, selama berminggu-minggu ini ia tak melihat niat baik Liya untuk merawat wanita itu. Alhasil mereka bertengkar hebat dan berakhir dengan Edelson mengancam Liya. Jika Liya tak ikut menjenguk korban hari ini, maka ia tak akan mau melihat Liya lagi. Ia juga sudah menyuruh Liya untuk meminta maaf kembali dan memperlakukan korban dengan baik. Tapi, Liya tak melakukannya. Ia tak habis pikir kenapa Liya bisa tak memiliki hati nurani seperti sekarang.
"Aku ingat, Edelson. Aku akan melakukannya di lain hari. Tapi, tidak sekarang. Aku mohon, ayo pulang."
"Kita tidak akan pulang sebelum kau bicara padanya. Sekarang, ayo masuk," balas Edelson dengan tegas dan menolak permintaan Liya.
Liya menggandeng tangan Edelson dengan erat karena merasa takut. Keringat dingin membasahi pelipisnya saat melihat tatapan tajam Alma. Sekali saja Alma bersuara maka suaminya akan tahu bahwa wanita itu adalah Alma. Liya menyadari jelas bahwa ada ikatan batin antara Edelson dan Alma.
Dulu, Edelson pernah menabrak seseorang hingga koma. Syukurnya korban selamat dan mau memaafkan Edelson dengan imbalan uang ratusan juta. Setelah memberi uang, Edelson tak pernah menemuinya lagi. Namun, berbeda hal saat Alma yang menjadi korban. Edelson bersikap seakan-akan istrinya sendiri yang terluka dan selalu siap siaga merawatnya. Padahal, bisa saja Edelson memberi uang sebagai permintaan maaf.
"Istriku ingin mengatakan sesuatu padamu," ucap Edelson memecah keheningan diantara mereka bertiga.
"Aku ingin meminta maaf kembali padamu, tolong maafkan aku dan lupakan apa yang terjadi," ucap Liya sambil mencium kaki Alma.
Liya menyaksikan dengan jelas bagaimana Alma mempermainkan ketakutannya dengan menggerakkan bibirnya. Ia mengira bahwa Alma akan mengungkap segalanya, tapi selanjutnya Alma hanya menggeleng. Alma juga tampak menulis sesuatu di kertasnya dan menunjukkannya pada Edelson.
Besok aku ingin lepas perban di wajahku. Aku harap kau datang.
"Tidak! Kau tidak boleh melepaskan perbanmu!" teriak Liya yang membuat Edelson terkejut, sedangkan Alma terlihat sangat puas.
"Ada apa dengan kau, Liya?! Dokter sudah memperbolehkan dia melepas perban dan dia juga menginginkannya. Kau tak punya hak melarangnya. Harusnya kau mendukungnya, bukan bersikap seperti ini," balas Edelson membentak Liya yang dianggap sudah keterlaluan.
"Edelson, aku bisa menjelaskan. Maksudku...."
"Cukup, Liya. Jangan paksa aku menamparmu untuk menyadarkanmu bahwa kau seorang pembunuh," ucap Edelson memotong perkataan istrinya.
Liya terdiam mematung dengan mata berkaca-kaca. Edelson menghinannya dengan mengatakan ia seorang pembunuh. Selama ini Edelson selalu menjaga perasaannya dan tak pernah sekali pun menghinanya. Tapi, sekarang Edelson melakukannya demi Alma yang bahkan tak ia kenali. Air mata menetes di pipinya saat melihat sikap lembut Edelson pada Alma.
"Aku akan datang besok untuk menemanimu melepas perban," ucap Edelson sambil tersenyum.
*****
Hari yang ditunggu akhirnya tiba. Edelson sudah sangat bersemangat datang ke rumah sakit. Berbeda hal dengan Liya yang lebih banyak diam dan melamun. Beribu cara sudah Liya coba lakukan agar Edelson tak datang ke rumah sakit. Mulai dari mematikan alarm, menusuk ban mobil dengan jarum, hingga pura-pura merintih kesakitan. Tapi, usahanya sia-sia. Edelson bisa bangun tepat waktu tanpa alarm, lalu memesan GoCar. Liya tahu Edelson curiga padanya atas semua kejanggalan pagi ini.
Selama perjalanan ke rumah sakit, otaknya dipenuhi dengan prasangka buruk bahwa hari ini Edelson akan menceraikannya dan hidup bersama Alma. Beda hal dengan Edelson yang tak sabar melihat wajah korban.
Dua minggu ini Edelson habiskan dengan rasa penasaran tentang korban yang selalu mengingatkannya pada Alma. Terlebih ia belum mendapat info apapun dari orang suruhannya mengenai posisi Alma saat ini. Ia terlalu takut hanya untuk berpikir bahwa wanita itu adalah Alma.
Suara dering ponsel Edelson membuatnya menoleh dan Liya pun ikut menoleh kepadanya. Edelson mengangkat panggilan dari orang suruhannya dan berharap ada kabar baru tentang Alma.
"Ada apa? Kau sudah mengetahui tentangnya?" tanya Edelson tanpa menyebut nama Alma agar Liya tak curiga.
"Saya belum menemukan Bu Alma, Pak. Tapi, saya sudah tahu lokasi Bu Alma berada. Bu Alma tinggal di Bandung, tepatnya di Jl. Terusan Buah Batu. Saya sudah mendatangi kos tempat Bu Alma tinggal, tapi kata pemiliknya, Bu Alma pergi sudah dua minggu dan...."
Suara orang suruhannya tak terdengar lagi karena ponsel Edelson terjatuh tanpa sengaja. Hal itu dikarenakan ia kaget saat mendengar lokasi tempat tinggal Alma yang tak jauh dari lokasi rumah sakit tempat korban penganiayaan Liya dirawat. Terlebih info bahwa Alma pergi dua minggu sama dengan lama korban dirawat. Sebuah kebetulan yang sama persis.
"Edelson, ada apa? Siapa yang menelepon?" tanya Liya setelah mengambil ponsel suaminya, namun panggilan sudah ditutup. Liya tampak cemas saat melihat kondisi Edelson yang berubah jadi tegang.
Edelson hanya diam dan tak menjawab. Bahkan, belum selesai pengemudi menghentikan mobilnya, Edelson sudah memaksa keluar dan langsung masuk ke rumah sakit.
"Edelson, tunggu aku!" teriak Liya namun diabaikan. Ia hendak berlari untuk menghentikan suaminya, namun supir GoCar menghentikannya.
"Mbak, bayar dulu," ucap supir itu menghalangi jalan Liya.
"Maaf, saya lupa ini uangnya. Ambil saja kembaliannya," balas Liya lalu segera berlari tanpa membalas ucapan terima kasih dari supir.
Liya merutuk dalam hati saat lift lama sekali terbuka. Ia pun nekat naik tangga emergency agar bisa sampai ke lantai dua. Liya berharap Edelson belum melihat wajah Alma. Sesampainya di ruang rawat Alma, ia terkejut saat tak menemukan siapapun kecuali Edelson dan perawat. Tampaknya Edelson pun juga terkejut saat tak melihat korban.
"Korban penganiayaan yang dirawat di kamar ini, dia kemana, Suster?" tanya Edelson.
"Setelah membuka perban, dia memutuskan langsung pulang sejam yang lalu, Pak," jawab suster lalu pamit keluar.
Edelson tampak lemas saat mendengar jawaban suster. Tubuhnya hampir jatuh jika saja Liya tak merangkulnya dan menuntunnya untuk duduk. Liya hendak memberi minum pada Edelson, namun gelas tersebut malah dilempar hingga pecah. Liya terkejut dengan tindakan kasar suaminya. Edelson tak pernah memecahkan gelas saat bersamanya.
"Aku tanya untuk terakhir kalinya, Liyandra Khasan. Siapa wanita yang hampir kau bunuh hingga keguguran?" tanya Edelson menatap tajam ke arah Liya. Liya terlihat takut saat mendengar suara Edelson yang tampak emosi.
"Aku tidak tahu namanya, Edelson. Aku hanya tahu kalau dia...."
"Bohong! Kau tahu tentang dia, namun kau menyembunyikannya dariku!" teriak Edelson memotong ucapan Liya karena muak dengan kebohongan yang terus Liya lontarkan.
Liya hendak membela diri, namun suara dering ponsel Edelson membuatnya tak jadi bicara. Ia berterima kasih pada siapapun yang menelepon Edelson hingga suaminya pergi dengan terburu-buru. Fakta bahwa rencananya membuat Alma menjauh dari Edelson berhasil membuatnya tersenyum bahagia. Kini tak akan ada yang bisa memisahkannya dari Edelson.
*****
Tangerang, 23 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Mutiara Hitam
RomansaAlmaretha atau Alma, gadis yatim piatu yang hidup sebatang kara setelah keluarga mendiang ibunya membuang ia ke panti asuhan. Di dunia ini, tak ada yang ingin menjadi pemeran jahat, namun Alma terpaksa melakukannya. Ia terpaksa menjalin kasih denga...