Alma -Pembunuh-

2K 98 2
                                        

Kondisinya sudah membaik setelah dua minggu, dokter juga mengatakan bahwa perban di wajah dan tubuhnya sudah bisa dilepas. Namun, Alma menolak. Alma hanya mengizinkan untuk melepas perban di bagian tubuhnya. Alasannya karena ia tak mau Edelson melihatnya.

Selama dua minggu dirawat, Edelson rajin mengunjunginya. Kadang Edelson datang bersama Liya, kadang sendirian. Seperti hari ini, Edelson datang sendirian untuk menemaninya melepas perban di bagian tubuhnya. Ia tak tahu Liya kemana karena Edelson tak pernah menjelaskan kenapa Liya tak datang. Alma juga tak peduli dengan kehadiran Liya karena kehadiran Edelson yang terpenting.

Ia sadar bahwa kedatangan Edelson hanya sebagai permintaan maaf untuk kesalahan Liya. Pria itu bukan perhatian atau khawatir padanya karena Edelson tak mengenalinya. Tapi, entah kenapa Alma merasa bahwa hati Edelson mengenalinya, tapi tidak dengan mata Edelson.

"Bekas lukanya sudah mulai mengering, jika gatal tolong jangan digaruk karena akan membuat kulit jadi iritasi," ucap dokter saat seluruh perban di bagian tangan, kaki dan punggungnya dilepas.

Alma berusaha menutupi bekas lukanya yang terlihat mengerikan. Kulitnya yang mulus kini sudah menghilang dan digantikan dengan kulit yang menjijikan. Hal ini juga yang menjadi salah satu alasan ia tak membuka perban pada wajahnya. Ia tak mau Edelson merasa jijik padanya.

Setelah dokter dan suster pergi, hanya tersisa Alma bersama Edelson. Alma terkejut saat tangan Edelson melepaskan tangannya dari bekas lukanya. Edelson mengusap lembut bekas luka tersebut sambil tersenyum.

"Kulit kamu tetap cantik kok," ucap Edelson.

Edelson memahami apa yang dirasakan wanita di hadapannya. Walaupun ia tak mendengar tangisan atau teriakan histeris akibat melihat kulitnya yang rusak, tapi Edelson tahu kesedihan wanita itu. Jika ditanya bagaimana bisa ia begitu memahami wanita asing tanpa nama tersebut, maka jawabannya ia tak tahu. Hatinya terasa terhubung sehingga ia bisa mengerti kesedihan dan rasa sakit wanita itu. Setiap kali ia menolak panggilan hatinya untuk menjenguk wanita itu, ia malah berakhir dengan perasaan cemas tanpa henti.

Terlebih kelopak abu-abu miliknya selalu mengungkapkan kejujuran. Mata itu seakan ingin berbicara padanya dan butuh pertolongannya. Ia tahu bahwa apa yang ia lakukan terlalu berlebihan sebagai suami dari pelaku, tapi ia hanya ingin mengikuti hati, tanpa memikirkan logika saat bersamanya.

Alma kembali jatuh cinta pada Edelson untuk kedua kalinya. Ucapan singkat dari mantan kekasihnya membuatnya kembali bahagia. Kehadiran Edelson memberinya kekuatan untuk menghadapi semuanya.

"Kata suster, sejak tadi malam kamu menolak makan. Kamu engga suka sama makanan di rumah sakit? Mau saya belikan makanan di luar? Saya belikan bubur ayam ya?" tanya Edelson yang dibalas anggukan kepala oleh Alma.

Edelson tadi hanya asal menebak saja. Ia sendiri kaget saat dia setuju. Ia bertanya demikian karena teringat dengan Alma yang tak pernah suka dengan semua hal tentang rumah sakit, termasuk makanannya. Alhasil, Alma selalu makan makanan dari luar saat dirawat di rumah sakit. Anehnya lagi, makanan yang dipesan Alma hampir seperti makanan rumah sakit yaitu bubur ayam.

Saat mengingat Alma, ia kembali merasa rindu. Ia khawatir dengan keberadaan Alma sekarang, apalagi saat melihat kondisi wanita di hadapannya. Apa Alma baik-baik saja di luar sana? Apa Alma bersama dengan orang baik di sana? Apa Alma merasa bahagia sekarang?

Ia berharap bahwa Tuhan memberikan Alma kebahagiaan dan terus menjaganya dari orang jahat di luar sana. Ia akan menyalahkan dirinya sendiri jika Alma bernasib serupa dengan wanita di depannya.

Edelson pergi sebentar untuk membeli bubur ayam. Sepuluh menit kemudian, ia kembali dengan kantong plastik putih di tangannya. Ia tahu bahwa wanita di depannya senang saat ia membawa bubur ayam. Ia bisa mengetahuinya dari mata kelabu milik wanita itu.

"Saya suapin ya," ucap Edelson yang dibalas anggukan kepala oleh Alma. Edelson mengetahui perkembangan kondisinya dari dokter dan suster. Seingatnya, dokter mengatakan bahwa wanita itu belum bisa banyak bergerak sehingga selama ini suster yang menyuapinya.

Satu suapan dimakan dan Edelson mencoba memasukkan kerupuk ke dalam suapan berikutnya. Tapi, wanita itu menggelengkan kepalanya. Alma juga tak suka makan kerupuk di awal, selalu di akhir saat bubur sudah habis dan kerupuknya menjadi lembek.

Saat Edelson menaruh kembali kerupuk, Alma pikir Edelson akan membuang kerupuknya. Ternyata ia salah, Edelson tetap menyuapi kerupuk padanya seperti yang biasa dilakukan yaitu di akhir. Walaupun Edelson tak mengenalinya, tapi Alma tahu bahwa Edelson merasakan hal yang sama dengannya.

*****

Kunjungan berikutnya, Edelson datang bersama Liya. Ia tak tahu apa yang terjadi pada keduanya karena keduanya terlihat seperti baru bertengkar. Sejujurnya ia tak suka dengan kedatangan Liya karena wanita itu terus saja menatapnya dengan mata melotot, seakan ingin mengancamnya agar tak memberitahu apapun. Dokter datang kembali untuk memeriksa kondisinya dan ia bisa melihat tatapan bingung dari dokter.

"Bu, coba berusaha mengatakan sesuatu," ucap dokter yang membuat Alma panik.

Tadi malam Alma menyadari jika ia sudah bisa bicara walau terpatah-patah. Ia tak menyangka jika dokter bisa mengetahui perkembangan pada pita suaranya. Ia berpura-pura menggerakkan mulutnya seakan-akan sedang bicara, padahal ia tidak berusaha mengeluarkan suara.

Edelson yang sudah berharap bahwa wanita di hadapannya bisa bicara kembali merasa kecewa saat tak mendengar suara apapun. Berbeda hal dengan Liya yang merasa lega. Dokter sempat berbicara pada suster perihal obat untuk Alma.

"Ada apa, Dokter? Apa ada kemajuan pada pasien?" tanya Edelson yang penasaran alasan dokter menyuruh wanita itu bicara.

"Dari hasil pemeriksaan saya, kondisi leher dan alat ucapnya sudah membaik, seharusnya sudah bisa bicara. Tapi, mungkin ada kendala lain yang menghambatnya berbicara, obat yang baru bisa membantunya semakin cepat bicara," ucap dokter.

Edelson tampak cemas dengan kondisi Alma yang belum kunjung membaik. Ia mengantar dokter dan suster keluar ruangan, sekaligus ingin menanyakan beberapa hal mengenai Alma di luar ruangan. Di ruangan hanya tersisa Liya dan Alma yang saling menatap. Liya masih santai memainkan ponselnya, sampai ia mendengar suara seseorang yang ia harap tak pernah terdengar lagi.

"Pem... bunuh."

*****

Tangerang, 21 Februari 2024

Mutiara HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang