Alma pikir hubungan gelapnya dengan Edelson akan terungkap saat Liya menatap ke arah mereka dengan tatapan sayu. Ia pun sama kagetnya dengan Edelson dan buru-buru melepaskan ciuman mereka, walaupun ia yakin Liya sudah melihat bahwa ia mencium suami mantan bosnya. Edelson menghampiri Liya dan langsung memeluknya sambil berusaha menjelaskan keadaan mereka dengan kebohongan.
"Liya, ini tak seperti yang kau lihat. Aku mencintaimu, Sayang. Dia tidak berarti apapun bagiku," ucap Edelson dengan nada bersalah dan tatapan takut.
Alma bisa merasakan ketakutan Edelson akan kehilangan Liya dan ia pun sadar jika ia tidak lebih dari wanita penghibur bagi Edelson. Ia bisa saja memperkeruh keadaan dengan mengatakan bahwa ia adalah selingkuhan Edelson, tapi ia malah diam menyaksikan keduanya. Entahlah, ia sendiri tak mengerti apa yang diinginkannya sekarang.
Tiba-tiba Liya tak sadarkan diri. Ternyata dia masih dipengaruhi alkohol dan kemungkinan akan melupakan apa yang dilihatnya, terlebih Liya tak merespon apapun saat Edelson berusaha menenangkannya. Keberuntungan masih memihak Edelson.
Ia melihat Edelson menggendong Liya masuk ke rumah, meninggalkannya sendirian di sini dan menutup pintu rumah di depan matanya. Edelson memperjelas bahwa ia tak menginginkan kehadirannya melalui sikapnya. Lantas untuk apa ia tetap berdiri di sini dan menatap pintu yang tak akan pernah terbuka untuknya?
*****
Alma berusaha menyibukkan diri dengan mencari pekerjaan, sebenarnya ia tak butuh uang karena semua pemberian Edelson sudah cukup untuk memenuhi gaya hidupnya yang sederhana sampai belasan tahun. Namun, ia butuh pekerjaan untuk mengalihkan pikirannya pada Edelson.
Ia bisa saja mengemis cinta Edelson, berlutut di kakinya sambil menangis dan memohon belas kasihannya agar mau menampungnya lagi sebagai kekasih gelap. Tapi, ego Alma menentang keras pemikiran untuk mengemis cinta mantan kekasihnya. Dulu ia bisa hidup tanpa Edelson, maka sekarang ia pun bisa hidup tanpa mantan kekasihnya.
Otaknya mungkin bisa berkhianat, namun hatinya tidak. Sulit untuk melupakan Edelson saat semua kenangan mereka tersimpan erat di hatinya. Dua hari setelah kejadian Liya mabuk, ia jatuh sakit. Sesakit dan sehancur inikah berpisah dengan Edelson?
Ia bergegas ke rumah sakit untuk berobat karena tak akan ada yang mempedulikan kesehatannya kecuali dirinya sendiri. Ia bahkan yakin tak akan ada yang datang ke pemakamannya saat ia meninggal. Kata dokter, ia hanya mengalami demam dan pusing biasa lalu diberikan obat. Ia melangkah keluar dari rumah sakit, namun langkahnya terhenti di depan pintu masuk saat melihat sepasang suami istri yang terlihat bahagia. Kebahagiaan mereka membuatnya terlihat semakin terpuruk, pria yang ia pikirkan selama dua hari ini ternyata tak memikirkannya dan sedang bermesraan dengan istrinya. Apa yang ia harapkan? Edelson akan uring-uringan hanya karena berpisah dengannya? Sangat mustahil terjadi.
"Eh, Alma. Kamu sedang apa di sini? Kamu sakit?" tanya Liya dengan nada ramah saat menyadari keberadaannya. Keramahan Liya membuktikan bahwa dia tak ingat apa yang terjadi saat mabuk. Ia melihat Edelson membuang muka padanya, seakan tak sudi menatapnya. Ia pun mengalihkan pandangannya pada Liya dan mengangguk.
"Banyak istirahat ya, rutin minum obat dan jaga pola makan. Semoga cepat sembuh. Sebenarnya aku ingin mengucap terima kasih padamu kemarin karena sudah membawaku ke rumah malam itu, tapi kamu sudah berhenti kerja. Kalau kamu butuh pekerjaan, hubungi aku saja. Makasih ya atas bantuanmu," ucap Liya dengan tulus. Mungkin sisi malaikat Liya yang membuat Edelson tak bisa berpaling dengannya. Jika ia bisa sebaik Liya, apakah Edelson mau menerimanya lagi? Bodoh. Mana mungkin ia bisa menjadi malaikat, jika sikapnya saja seperti iblis.
"Sama-sama, Bu. Tapi, saya engga akan kembali bekerja karena sudah menemukan pekerjaan baru. Kenapa Ibu ke rumah sakit?" tanya Alma mengalihkan pembicaraan, ia sengaja berbohong karena tak mau Liya memaksanya bekerja di restoran lagi. Ia tak akan bisa berdekatan dengan Liya tanpa berpikir jahat pada mantan bosnya.
"Saya mau memeriksakan kandungan, saya hamil."
Tubuh Alma diam mematung, bahkan pegangan tangannya pada kantung obat melemah hingga terlepas. Ia terkejut saat tahu Liya sedang mengandung. Rasanya seperti ada seseorang yang menabur garam pada lukanya, sangat perih. Edelson membantu mengambil kantung plastik yang terjatuh dan memberikan padanya. Ia pun sadar bahwa ia berlebihan dalam merespon ucapan Liya dan berusaha bersikap biasa saja, ia menerima kantung obat tanpa berani menatap mata Edelson. Ia takut jika air matanya akan menetes saat menatap mata Edelson yang pasti sedang berbahagia karena penantiannya menunggu kehadiran anak telah berakhir.
"Kamu baik-baik saja, Alma? Mau aku antar ke dokter lagi?"
"Saya... saya baik-baik saja, Bu. Selamat atas kehamilan Ibu, semoga kandungan Ibu sehat," balas Alma dengan terbata-bata. Ia membenci dirinya sendiri yang gagal bersikap biasa saja. Ia tak mau terlihat menyedihkan di depan Edelson.
"Sayang, dokter pasti sudah menunggu kita. Kita harus segera menemui dokter," ucap Edelson yang tampak tak peduli dengan Alma. Ia ingin segera lepas dari kejadian yang menurutnya canggung karena istrinya memberitahu sedang hamil pada mantan kekasih gelapnya.
"Baiklah. Alma, kita pergi dulu ya."
"Iya, Bu."
Akhirnya, Liya dan Edelson pergi dari hadapannya. Ia berbalik badan untuk melihat punggung Edelson yang menjauh. Air mata yang sedari tadi ia tahan akhirnya jatuh dan membasahi pipinya. Belum cukup rasa sakit akan perpisahan mereka, hatinya harus ditikam kabar Liya sedang mengandung. Apa tak cukup rasa sakitnya hingga Tuhan terus memberikan ia rasa sakit secara bertubi-tubi?
*****
Tangerang, 10 Februari 2024

KAMU SEDANG MEMBACA
Mutiara Hitam
RomanceAlmaretha atau Alma, gadis yatim piatu yang hidup sebatang kara setelah keluarga mendiang ibunya membuang ia ke panti asuhan. Di dunia ini, tak ada yang ingin menjadi pemeran jahat, namun Alma terpaksa melakukannya. Ia terpaksa menjalin kasih denga...