Alma -Karma-

607 69 1
                                    

Aku sudah siap menerima karma atas perbuatanku, bahkan aku siap menanggung karma mendiang ibuku. Tapi, bukankah terlalu kejam jika anakku yang belum lahir harus menerima karma itu juga?

Bu Alma, maaf karena kami gagal menyelamatkan anak dalam kandungan Anda. Tendangan di bagian perut membuat Anda mengalami keguguran.

Sudah sehari berlalu semenjak ia mendengar penjelasan dokter mengenai kondisinya. Tapi, ia tetap menangis seakan-akan dokter baru mengatakannya beberapa menit yang lalu. Ia sangat hancur itu pasti. Bahkan, air matanya sudah habis untuk menangisi kepergian anaknya.

Andai saja hari itu ia tahu bahwa ada anaknya dan Edelson di perutnya, maka ia akan melawan Liya. Namun, nasi sudah menjadi bubur. Ia gagal menyelamatkan anaknya. Selain, menjadi wanita yang buruk, ia juga menjadi ibu yang buruk.

Saat ini ia sangat butuh kehadiran Edelson, tapi ia tak mungkin menghampiri pria itu. Ketika keinginannya terkabul, ia harus bersikap seperti orang asing di depan Edelson yang datang ke ruangannya bersama Liya.

Alma tak tahu untuk apa Liya datang ke sini. Apakah untuk merayakan kematian anaknya? Apa untuk melihat penderitaannya? Apa untuk menabur garam pada lukanya dengan memperlihatkan kemesraannya bersama Edelson? Sejak wanita itu bisa melukainya hingga ia hampir mati dan mengalami keguguran, ia menyadari bahwa Liya bukan malaikat dan ia bukan iblis. Buktinya sekarang wanita itu menjadi pembunuh dari anaknya yang belum lahir, iblis saja tak akan sekejam wanita itu.

"Kami datang ke sini untuk meminta maaf atas kepergian anakmu. Kami sadar bahwa beribu kali pun kami meminta maaf, tetap saja tak akan bisa mengobati lukamu. Tapi, kami harap kau mau berbelas kasih dengan memaafkan kami," ucap Edelson dengan berurai air mata.

Alma ingin sekali menuliskan sesuatu pada buku yang diberikan oleh perawat sejak kemarin. Hatinya terasa perih saat Edelson menyebut 'anakmu' untuk memanggil anaknya dan Edelson. Seharusnya, Edelson mengatakan anak kita. Seharusnya Edelson tidak berada di pihak pembunuh itu. Seharusnya Edelson menghukum Liya seberat mungkin. Ia ingin memberitahu Edelson  kebenarannya, tapi ia hati nuraninya mengatakan tidak. Apalagi saat tatapannya tertuju pada perut Liya yang mulai menonjol.

Alma adalah orang yang paling tahu bagaimana hidup dalam kesendirian dan harus menghadapi kerasnya dunia tanpa dukungan orang tua. Ia juga tahu bagaimana hancurnya kehilangan sosok yang paling penting di hidupnya. Lantas, bagaimana bisa ia tega membiarkan anak yang belum lahir itu merasakan apa yang ia rasakan?

Untuk kesekian kalinya, ia hanya bisa menangis dalam diam. Tubuhnya yang terguncang membuat dua orang di sampingnya menyadari bahwa ia sedang menangisi anaknya. Entah kenapa Edelson merasa seperti ada magnet yang menariknya untuk memeluk wanita itu. Ia mencoba menahan diri dan mengalihkan pandangannya ke istrinya. Liya yang melihat Edelson melotot padanya akhirnya angkat bicara dan mendekati Alma.

"Aku sungguh merasa bersalah atas apa yang kulakukan padamu dan anakmu. Tolong maafkan dosaku," ucap Liya yang membuat Alma menatap tajam ke arahnya. Liya menunduk karena takut jika Alma akan memberitahu Edelson kebenarannya. Sementara Edelson terkejut saat menyadari bahwa kelopak mata wanita itu mirip dengan Alma.

"Matamu mengingatkanku pada seseorang," ucap Edelson spontan lalu berjalan mendekati Alma. Bahkan, Edelson sampai memajukan wajahnya untuk menatap mata kelabu tersebut. Mata indah yang terlihat sangat terluka, ia bahkan bisa membayangkan tatapan Alma saat menangis lewat mata itu.

Liya yang melihat hal itu menjadi panik. Jika Edelson bisa menebak bahwa wanita itu adalah Alma, maka semuanya akan berakhir. Ia berusaha mengalihkan fokus Edelson dengan berpura-pura merintih kesakitan sambil memegang perutnya.

"Awh, perutku," ucap Liya yang membuat Edelson langsung mengalihkan pandangannya.

"Liya, kau kenapa?"

"Perutku terasa nyeri. Tolong, panggilkan dokter, Edelson," ucap Liya yang langsung dibalas anggukan kepala oleh Edelson.

Saat Edelson keluar dari ruang rawat. Liya berhenti merintih kesakitan. Alma yang melihat sandiwara wanita itu langsung merasa jijik padanya.

"Alma, aku bersumpah bahwa aku tak berniat membunuh anakmu. Jika aku tahu kau hamil, maka aku tak akan menyakitimu. Tolong percayalah padaku. Aku memang bersalah, tapi anakku tak bersalah, Alma. Tolong jangan memberitahu Edelson mengenai kebenarannya, aku memohon, bahkan mengemis belas kasihanmu," ucap Liya sambil menangis dan melipat tangan di depan Alma. Alma mengabaikannya dengan mengalihkan pandangannya.

Liya yang melihat respon Alma menjadi tambah khawatir karena Alma tak menganggukkan kepalanya. Ia sudah pasrah saat Edelson kembali bersama dokter. Dokter menyuruhnya berbaring di sofa dan memeriksa perutnya. Tatapan Liya terus tertuju pada Alma, berharap Alma akan terus diam seperti sekarang. Hingga akhirnya pemeriksaan selesai dan ia dinyatakan baik-baik saja, Alma tetap diam. Bahkan, Alma tak bergerak sedikit pun saat ia dan Edelson keluar dari ruang rawat.

Bukankah harusnya ia merasa lega dan senang karena berhasil membungkam Alma? Tapi, kenapa ada yang mengganjal di hatinya? Apa ia sudah sangat jahat pada Alma?

*****

Tangerang, 19 Februari 2024

Mutiara HitamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang