"Alma, apa maksudmu? Kau ingin aku jadi pembunuh?" tanya Edelson terkejut saat mendengar perkataan wanita di hadapannya.
Alma hanya tersenyum sinis saat melihat Edelson langsung berdiri dan berhenti memohon saat mendengar tentang Liya dan anak mereka. Sikap Edelson sudah menunjukkan bahwa pria itu tak serius saat mengatakan akan melakukan apapun deminya. Bukan tanpa alasan Alma menanyakan hal itu pada Edelson. Ia juga tak berniat membunuh Liya dan anaknya. Apalagi meminta Edelson menjadi pembunuh.
"Lupakan saja perkataanku barusan. Nyatanya kau akan terus berada di pihak Liya walaupun dia menjadi penyebab anakmu terbunuh dan aku hampir mati," balas Alma hendak pergi, namun Edelson kembali menahannya.
"Alma, aku mohon jangan meminta hal itu. Aku tahu kau membenci Liya setelah apa yang dia lakukan. Kau bahkan boleh memenjarakan Liya setelah dia melahirkan anakku, tapi jangan memintaku membunuhnya. Bagaimana pun dia adalah ibu dari anakku," ucap Edelson mencoba bernegoisiasi dengan Alma. Namun, Alma tampaknya menolak.
"Kita sudah mengenal cukup lama. Kita berbagi ranjang yang sama. Kau bahkan sudah melihat seluruh tubuhku. Tapi, kau tak pernah berusaha memahamiku. Jika aku ingin kau membunuh Liya dan anakmu, maka sejak hari pertama di rumah sakit aku akan memberitahumu segalanya. Bukan malah diam dan membiarkan hubungan kalian tetap baik."
Alma kecewa saat menyadari bahwa Edelson tak pernah menggunakan hati saat berurusan dengannya. Edelson hanya menggunakan nafsu padanya. Dalam pikiran Edelson, ia tetap Alma yang rakus dan pendendam. Edelson mengejarnya hari ini hanya untuk mengurangi kesalahan Liya, bukan karena takut kehilangannya.
"Lalu, kenapa kau menanyakan hal itu jika kau tidak menginginkannya?" tanya Edelson tampak bingung.
"Tadi malam Liya datang ke rumah sakit. Dia mengancam akan bunuh diri jika aku mengatakan yang sebenarnya padamu. Itu alasan utama aku pergi hari ini karena aku sadar kau tak akan memilihku saat nyawa Liya dan anak kalian dipertaruhkan," jawab Alma dengan mata berkaca-kaca karena merasakan hatinya hancur-sehancurnya. Dugaan yang menjadi kenyataan ternyata berhasil mematahkan hatinya. Orang yang dulu ia pikir akan membalas rasa sakitnya atas kehilangan anaknya malah menambah rasa sakitnya.
Edelson terdiam mematung di tempat. Kali ini tak ada pembelaan darinya. Alma benar. Ia memang pengecut yang tak bisa memilih apa yang diinginkannya. Jika ia menggenggam tangan Alma, maka ia harus memotong tangan Liya dan anaknya. Ia sudah terlanjur menyayangi anak dalam kandungan Liya, apalagi setelah ia mengetahui bahwa ia gagal menjadi ayah untuk anaknya yang lain. Ia tak ingin kembali gagal menjadi seorang ayah.
"Maaf, Alma. Maaf karena tak pernah bisa menjadikanmu yang pertama di hidupku. Aku bukan orang yang bisa membahagiakanmu karena selamanya aku akan terikat dengan segala hal yang berkaitan dengan pembunuh anak kita," ucap Edelson sambil meneteskan air mata. Ia bahkan tak berani menatap mata Alma saat mengatakan hal itu. Kali ini, ia harus mematahkan setengah hatinya untuk melihat kepergian Alma.
"Kau tahu, Edelson. Sampai saat ini pun aku masih mencintaimu, aku tak pernah bisa membencimu sepenuhnya. Namun, kau akan menjadi kenangan terburuk di hidupku. Kau pria yang merendahkanku, mencampakkanku, mendukung pembunuh anakku dan pembohong terbesar di hidupku!" ucap Alma dengan tatapan benci pada Edelson sebelum akhirnya pergi meninggalkan Edelson sendirian.
*****
Alma tak tahu mau pergi kemana. Jadwal penerbangannya ke Malaysia sudah terlewat, lagi pula ia tak minat lagi pindah negara. Edelson tak akan mencarinya karena pria itu sudah membiarkannya pergi. Ia hanya bisa diam di stasiun sambil menatap orang berlalu lalang di hadapannya. Hingga tatapannya tertuju pada sebuah keluarga kecil yang terdiri atas ayah, ibu dan anak perempuan mereka. Mereka terlihat sangat bahagia walaupun pakaiannya sederhana. Mereka bercerita dan saling menghibur satu sama lain. Seharusnya ia bisa hidup seperti mereka, jika saja ia tidak mencintai pria yang salah. Pria yang selalu menjadikannya sebagai pilihan terakhir.
Kemana ia harus pergi sekarang? Jakarta? Bogor? Mungkin Yogyakarta? Entahlah, ia belum bisa menentukan. Saat ia sedang asyik melamun, seseorang menepuk bahunya. Ia tak mengenal siapa perempuan yang kini duduk di sampingnya dan tersenyum begitu lebar padanya. Apa ia pernah bertemu perempuan ini dan melupakannya?
"Retha kan? Aku Sela," ucap perempuan yang mengaku bernam Sela mengulurkan tangannya. Alma tetap diam sambil menatap bingung pada orang yang ia anggap asing. Alma tak mau berkenalan dengan orang yang belum ia kenal jelas wataknya, cukup Edelson saja. Namun, sepertinya wanita ini tidak terlalu asing karena samar-samar Alma seperti pernah melihatnya. Terlebih panggilan 'Retha' yang merupakan panggilan mendiang ibunya dulu yang menjadi panggilannya saat kecil. Ia mengganti panggilannya menjadi 'Alma' saat dewasa.
"Aku teman kamu waktu di Panti Asuhan Bunda Amerta. Teman sekamar di kamar nomor 12," ucap Sela memperkenalkan diri dengan lebih jelas agar Alma mengingatnya. Alma mencoba membuka memori lamanya saat wanita itu menyebut nama panti asuhan yang merupakan tempat tinggalnya dulu.
"Kamu beneran Sela yang dulu rambutnya pendek dan penampilannya kayak cowok? Sekarang kamu berubah banget sampai aku engga kenal kamu," ucap Alma saat mengingatkan teman masih kecilnya.
Alma terkejut saat melihat perubahan Sela dewasa. Rambut pendeknya berubah jadi panjang dan dikepang, ia juga memakai gaun dengan gambar daun di bawah lutut dan seorang anak perempuan bersamanya. Apa Sela sudah menikah? Seingatnya usia Sela hanya lima tahun di atasnya, lalu kenapa anaknya sudah remaja? Alma bingung, namun enggan bertanya karena takut dikira terlalu kepo dengan kehidupan Sela. Namun, tampaknya Sela memahami arti tatapannya.
"Sekarang kan aku udah jadi seorang ibu, jadi harus berubah lebih feminim. Oh ya, kenalin Putriku namanya Harla. Harla, kenalin ini teman mama namanya Retha," ucap Sela memperkenalkan Alma pada putrinya dan sebaliknya.
"Harla, Mbak," ucap anak itu sambil mencium punggung tangan Alma.
"Almaretha, panggil aja Alma," balas Alma dengan senyum ramah.
"Kamu mau kemana, Retha?" tanya Sela yang masih memanggilnya 'Retha' padahal Alma sudah menyebut nama panggilannya sekarang. Mungkin Sela sudah terbiasa dengan panggilan masa kecilnya.
"Belum tahu," balas Alma singkat yang membuat Sela terdiam sesaat. Sela bisa melihat raut wajah Alma yang tampak sedih dan matanya yang memerah seperti baru menangis. Dalam pikirannya mungkin Alma sedang memiliki masalah.
"Sekarang aku tinggal di Magelang. Ke Bandung untuk liburan. Kamu mau ikut aku ke Magelang ga?" tanya Sela yang membuat Alma kaget.
"Beneran aku boleh ikut kamu?" tanya Alma merasa tak enak hati.
"Benar. Tapi, aku tinggalnya di desa, bukan di kota. Takutnya kamu engga betah," ucap Sela sambil memperhatikan penampilan Alma yang tampak sangat terawat dengan kalung mewah di lehernya. Meskipun ada beberapa bekas luka di badan Alma, namun Alma tetap terlihat cantik. Berbeda dengannya yang sudah menjadi seorang ibu. Ia sempat merasa rendah diri saat duduk bersebelahan dengan Alma.
"Engga masalah kok tinggal di desa. Lagi pula aku juga engga punya rumah sekarang. Aku janji akan segera cari rumah biar engga menyusahkan keluarga kamu," balas Alma.
"Engga perlu merasa engga enak hati seperti itu. Anggap aja rumahku sebagai rumahmu. Aku beli tiket untukmu dulu, tolong jaga Harla dulu ya," ucap Sela yang dibalas anggukan kepala dan ucapan terima kasih berulang kali oleh Alma.
Alma menatap punggung Sela yang menjauh dengan tatapan haru. Setidaknya masih ada satu orang baik yang diturunkan Tuhan di hidupnya. Ia bersumpah pada dirinya tak akan lagi menginjakkan kaki di dua kota yang menjadi saksi bisu kehancurannya. Kota Jakarta, tempat ia bertemu dengan Edelson. Kota Bandung, tempat Edelson meninggalkannya. Jakarta jadi saksi Alma berani melakukan apapun demi bersama Edelson. Bandung menjadi saksi Alma membuang pemberian Edelson yang paling berharga baginya, yaitu kalung liontin angsa.
*****
Tangerang, 25 Februari 2024
KAMU SEDANG MEMBACA
Mutiara Hitam
RomanceAlmaretha atau Alma, gadis yatim piatu yang hidup sebatang kara setelah keluarga mendiang ibunya membuang ia ke panti asuhan. Di dunia ini, tak ada yang ingin menjadi pemeran jahat, namun Alma terpaksa melakukannya. Ia terpaksa menjalin kasih denga...