***"Kau ini selalu membangkang!" teriak seorang pria yang berumur sekitar empat puluh tujuh tahun dengan penuh amarah, suaranya menggema di seluruh ruangan yang megah.
"Terserah apa kata lo," balas seorang pemuda dengan nada datar, seolah tidak terpengaruh oleh teriakan itu.
"Anak ngga punya sopan santun!" Pria itu melanjutkan, wajahnya merah padam.
"Thank you. Udah selesai ngomongnya?" balas pemuda itu dengan santai, tatapannya jengah. Permen karet yang dia kunyah sengaja dia hembuskan, membentuk balon kecil di bibirnya.
Di siang yang terik itu, pertengkaran hebat pecah di dalam rumah besar berwarna krem di kawasan elite pusat Jakarta. Suara bentakan dan balasan myaring terdengar, menciptakan suasana yang tegang dan mencekam.
BRAK!
Sosok pemuda yang mengenakan kaos hitam polos dan celana jeans biru khas style nyentriknya tampak keluar dari rumah dengan langkah cepat, membanting pintu keras-keras. Di belakangnya, seorang wanita paruh baya berlari mengejarnya dengan wajah cemas.
"Tunggu, Nak!" panggil wanita itu dengan suara sendu.
Pemuda itu berhenti, tetapi tidak menoleh. Hanya deru napasnya yang terdengar. Enggan menurunkan ego.
"Kamu mau pergi lagi?" Suara wanita itu lembut meski bergetar.
Hening.
"Ngga usah dipikirin apa yang dibilang sama Papa tentang kamu, Gal. Mungkin Papamu lagi banyak pikiran," lanjutnya dengan mata berkaca-kaca. Seolah memohon agar anaknya mengerti sekali ini saja.
Pemuda itu tetap diam, matanya menatap kosong ke depan. Jelas sekali terlihat bahwa dia juga mengalami pergolakan batin. Wanita itu cukup kuat andilnya untuk bisa menahan dia pergi. Tapi, pria di dalam sana, membuatnya muak untuk menghirup udara di rumah yang sama dengannya.
"Ah, udahlah, Ma! Biar aja dia pergi ke mana pun dia mau! Anak berandalan kayak dia ngga pantas tinggal di sini," teriak pria itu dari dalam rumah.
Kata-kata tersebut cukup bagi pemuda itu untuk memantapkan langkahnya. He know he has to get out of this bullshit as soon as possible. Semakin lama dia menahan dirinya di sana, akan semakin besar keinginannya untuk melampiaskan segala kemarahannya dengan memukul pria itu.
Dan itu tidak boleh terjadi. Bukan karena dia tidak bernyali, tapi karena wanita yang dia sebut Mama itu, akan lebih merasa sakit dari semua rasa sakit yang selama ini dia rasakan. Menjaga sikap untuk tidak bertindak jauh, hanya karena dia tidak mau membuat wanita itu menangis lagi setiap dia dan pria itu bertengkar.
Mobil Aston Martin berwarna abu-abu terpakir di halaman rumah. Dengan langkah cepat, dia masuk, menyalakan mobil untuk bergegas keluar dari tempat itu. Dia membunyikan klakson berulang kali, memanggil Pak Adi, satpam mereka, untuk segera membuka gerbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
JENNY PRISKILLA ✔️
General FictionGallio Alessandro Kanaka belum pernah merasa sefrustasi ini untuk menaklukan hati seseorang. Biasanya, perempuan-peremuan selalu mau padanya karena dia tampan, kaya dan populer. Perbedaannya justru membuat Gallio semakin tergila-gila. Perempuan itu...