***Gallio memutuskan untuk pulang ke rumah hari ini. Entah apa yang mendorong niatnya, yang jelas pukul tujuh pagi, dia pulang setelah mengantarkan Bob ke rumahnya.
Sebelumnya, Gallio tidak pernah seburu-buru ini untuk pulang. Baginya, tidak ada kenyamanan yang bisa dia rasakan di rumah. Rumahnya bukan lagi tempat untuk pulang. Pepatah "rumahmu adalah istanamu" tidak lagi berarti baginya. Semua itu hilang dari pikirannya, tergantikan oleh kenangan pahit dan luka yang mengiringi langkahnya setiap masuk ke pekarangan rumah.
Sesampainya di rumah, Gallio langsung menyelonong masuk tanpa salam. Dia terkejut melihat Hartanto, masih di rumah, duduk santai di ruang tamu dengan koran di tangan. Biasanya, Hartanto selalu berangkat kerja pagi-pagi sekali, dan Gallio tidak pernah mendapatinya di rumah pada jam seperti ini.
But who cares? Dia terus melangkah dengan sikap acuh tak acuh. Dengan santai melewati ruang tamu, mengabaikan keberadaan Hartanto seolah pria itu tak ada di sana.
Dia menyugar rambutnya yang sedikit berantakan dengan satu tangan sementara tangan lainnya sibuk dengan tusuk gigi yang digigitnya. Pandangannya lurus ke depan, mengabaikan Hartanto yang kini menatapnya dengan alis yang sedikit terangkat.
"Masih berani pulang?" tanya Hartanto dengan nada menyindir. Dia melipat koran di tangannya, metelakannya di atas meja sebelum bangkit berdiri.
Langkah Gallio terjeda. "Kenapa harus takut?" ucapnya sedikit menantang, tanpa repot-repot menoleh.
"Kau memang anak kurang ajar!" erang Hartanto marah. Berjalan keluar dari tempatnya untuk mendekati Gallio agar bisa memberinya pelajaran.
Dari dapur, sayup-sayup Claudia bisa mendengar dan mengenali percakapan yang terjadi di ruang keluarga. Suara yang semakin meninggi membuatnya cemas. Wanita itu langsung meninggalkan pekerjaannya, bergegas mendatangi ruang keluarga dengan jantung berdebar. Dia takut ada pertengkaran lagi bila membiarkan Hartanto dan Gallio di ruangan yang sama.
Dan benar saja, ketika langkahnya semakin dekat, dia melihat suaminya bersiap-siap memberi tamparan pada Gallio yang bersikap bodo amat dengan kedua tangan di dalam saku celana jeansnya. Seolah tak takut sedikit pun.
"Hartanto, hentikan!" suara Claudia menggema, mencoba menghentikan api yang nyaris menyala. Ketegangan di ruangan itu hampir bisa dirasakan dalam setiap helaan napasnya.
Itu berhasil. Hartanto benar-benar berhenti.
"Masih pagi dan kalian berdua sudah memulai pertengkaran." Claudia menggeleng lelah. Dia menarik tangan Gallio dan membawanya ke kamar anak laki-lakinya itu.
"Mama harusnya ngga usah tarik aku. Biar aja kalau Si Hartanto gila itu mau mukul. Aku mau lihat sebesar apa nyalinya buat mukul," gumam Gallio kesal, berdiri di sebelah Claudia yang baru saja menutup pintu kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
JENNY PRISKILLA ✔️
General FictionGallio Alessandro Kanaka belum pernah merasa sefrustasi ini untuk menaklukan hati seseorang. Biasanya, perempuan-peremuan selalu mau padanya karena dia tampan, kaya dan populer. Perbedaannya justru membuat Gallio semakin tergila-gila. Perempuan itu...