***"Udah, Nak. Udah!" Claudia menangis sambil berusaha melerai kedua lelaki yang paling dia cintai. Air matanya kembali jatuh, tak mampu menghentikan kekacauan di hadapannya. Entah apa yang memicu pertengkaran ini, tapi suara ribut-ribut dari ruang tamu sudah cukup membuatnya turun tergesa-gesa dari kamar.
Gallio masih berdiri dengan napas memburu, urat di lehernya terlihat jelas. Matanya memerah, bukan hanya karena bekas tamparan yang baru saja diterimanya dari Hartanto, tapi juga karena kemarahan yang selama ini terpendam begitu dalam. "Mulut bajingan itu selalu nyakitin perasaan Gallio, Ma!" Suaranya pecah saat jari telunjuknya menunjuk langsung ke arah ayahnya. Amarah dan kesedihannya menyatu, sesuatu yang jarang terlihat dari sosoknya yang biasanya melawan saja dengan tak karu-karuan dan santai.
"Selama ini Gallio udah sabar ngadepin dia!" teriak Gallio, air mata mengalir dari matanya, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Bekas tamparan di pipinya masih terasa pedih, tapi bukan itu yang membuatnya menangis. "Apa pun yang Gallio buat selalu salah di matanya! Dia selalu nuntut Gallio jadi seseorang yang bahkan Gallio sendiri ngga tau gimana caranya jadi seperti itu! Gallio selalu coba, Ma. Gallio mati-matian berusaha jadi anak yang bisa dia banggain. Tapi ngga pernah cukup! Mulutnya, omongannya, selalu nyakitin Gallio."
Suaranya menggema di seluruh ruangan. Claudia terisak pelan, hatinya hancur melihat anak sulungnya, yang biasanya menahan segalanya, kini luluh lantak di depan matanya. Sementara Hartanto, meskipun wajahnya sedikit merah dan dasinya kusut akibat perkelahian tadi, tetap berdiri tegak, ekspresi wajahnya dingin, seperti biasa.
Namun, hari ini berbeda. Gallio tidak seperti biasanya. Tidak ada amukan balasan yang biasa dia berikan. Terlalu lelah, membuatnya lebih banyak diam dan menerima pukulan, tanpa perlawanan yang berlebihan seperti biasanya. Ada sesuatu yang patah di dalam dirinya.
"Gimana caranya Gallio bisa jadi apa yang dia mau sedangkan dia sendiri ngga pernah ada waktu buat Gallio?!" lanjut Gallio, suaranya melemah tapi tetap penuh dengan kepedihan. "Buah itu ngga jatuh jauh dari pohonnya, Ma. Apa dia ngga sadar kalau Gallio ini cerminan dia juga? Gallio belajar dari dia! Dia bilang Gallio anak paling besar, harus bawa nama keluarga. Tapi kenyataannya, Gallio cuma bikin malu di matanya. Selalu dibanding-bandingin sama anak temannya, sama Lisa! Gallio juga manusia, Ma! Gallio punya rasa cemburu, sakit hati. Gallio bukan batu. Tapi dia ngga pernah ngerti!"
Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti racun yang sudah lama terpendam di dalam dirinya, menguras seluruh tenaga dan emosinya.
"Gallio cuma bisa ngerasain apa itu keluarga dari luar, Ma. Dari teman-teman Gallio, bukan dari rumah ini. Dia selalu nuntut Gallio harus jadi apa yang dia mau, tapi di mana dia waktu Gallio sakit? Ngga ada! Mama yang selalu ada buat Gallio! Waktu acara sekolah dulu, yang datang cuma Mama. Jadi, untuk apa Gallio anggap dia ada?!"
Claudia terisak semakin keras, hatinya hancur mendengar setiap kalimat itu. Gallio melanjutkan dengan napas terengah-engah, ini adalah kesempatan terakhirnya untuk didengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
JENNY PRISKILLA ✔️
Fiction généraleGallio Alessandro Kanaka belum pernah merasa sefrustasi ini untuk menaklukan hati seseorang. Biasanya, perempuan-peremuan selalu mau padanya karena dia tampan, kaya dan populer. Perbedaannya justru membuat Gallio semakin tergila-gila. Perempuan itu...