***Gallio tidak tau apa yang membuatnya melangkah mendekat pagi itu. Entah keberanian yang tiba-tiba muncul, atau rasa bersalah yang perlahan menyelinap di dalam dirinya. Namun, dia terus berjalan, meski dengan detak jantung yang semakin tak beraturan dan napas yang terasa berat di dada. Kali ini, dia bukan ingin mencari masalah, bukan ingin melanjutkan pertengkaran yang tak pernah usai. Ada sesuatu yang berbeda, sesuatu yang lebih tenang meski hatinya bergejolak.
Setiap langkah terasa berat, namun Gallio tetap maju. Hartanto, tenggelam dalam bacaannya, belum menyadari bahwa putranya sedang mendekat. Tampak kerutan di dahi pria itu, tanda pikirannya terhanyut dalam berita-berita yang selalu menyita perhatian.
Di kejauhan, Claudia berdiri terpaku di dekat pintu dapur. Matanya mengikuti setiap gerakan Gallio, hati kecilnya dipenuhi rasa was-was. Dia tau betapa sulitnya hubungan antara ayah dan anak ini, dan betapa seringnya segala sesuatu berakhir dengan pertengkaran sengit. Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi ini. Gallio tampak seperti orang yang sedang berusaha untuk berdamai dengan sesuatu—mungkin dengan dirinya sendiri, mungkin dengan ayahnya.
Gallio berhenti beberapa langkah di depan Hartanto. Dia menarik napas panjang melalui hidung, lalu menghembuskannya perlahan melalui mulut, seolah mencoba mengumpulkan kekuatan yang tersisa.
"Pa..." suara itu keluar, lirih dan bergetar, hampir tak terdengar. Kata yang terasa asing di bibirnya. Sudah lama sekali dia tidak memanggil Hartanto dengan sebutan itu. Rasanya aneh, tapi juga terasa seperti pecahan beban yang jatuh dari dadanya.
Hartanto mendongak, matanya bertemu dengan mata Gallio. Untuk sesaat, waktu seakan berhenti. Di ruang keluarga yang sunyi, hanya ada mereka berdua—dua pria yang selama ini dipisahkan oleh kesunyian dan kesombongan. Hartanto menatap Gallio, seolah baru menyadari bahwa putranya sudah tumbuh dewasa. Dia bukan lagi remaja SMP keras kepala yang selalu menantang, tapi pria muda yang membawa luka-luka masa lalu yang tidak pernah sembuh. Dan di balik mata Gallio, Hartanto melihat sesuatu yang dia kenali untuk pertama kali—pantulan dirinya sendiri, saat masih muda, penuh ambisi dan kemarahan yang terpendam. Yang dia juga tidak paham, kenapa perasaan itu tiba-tiba muncul sekarang.
Gallio menahan napas saat tatapan mereka bertemu. Ada begitu banyak hal yang ingin dia katakan, begitu banyak pertanyaan yang selama ini dia simpan sendiri. Kenapa hubungan mereka selalu seperti ini? Kenapa semuanya terasa begitu sulit? Tapi di balik semua keraguan itu, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Gallio merasa tidak perlu berkata apapun. Hanya dengan tatapan itu—tatapan yang jarang mereka bagi—dia merasakan sesuatu di dalam dirinya perlahan runtuh.
Dinding-dinding yang selama ini dia bangun, tembok-tembok kesombongan, kebencian, dan penolakan yang dia jaga begitu kuat, mulai retak. Tatapan lembut yang dia lihat di mata ayahnya, meski hanya sepersekian detik, sudah cukup untuk membuat semuanya berubah. Perasaan yang selama ini dia tekan dalam-dalam, kini naik ke permukaan.
KAMU SEDANG MEMBACA
JENNY PRISKILLA ✔️
Fiction généraleGallio Alessandro Kanaka belum pernah merasa sefrustasi ini untuk menaklukan hati seseorang. Biasanya, perempuan-peremuan selalu mau padanya karena dia tampan, kaya dan populer. Perbedaannya justru membuat Gallio semakin tergila-gila. Perempuan itu...