***Sabtu pagi ini, mungkin ada yang berbeda untuk seorang Gallio. Biasanya, akhir pekan seperti ini dia habiskan di luar rumah—nongkrong, minum-minum, atau sekadar mencari tempat rame malamnya dengan dugem untuk menikmati waktu. Tapi pagi ini? Dia ada di rumah, sebuah pemandangan yang jarang sekali terjadi.
Tidak hanya itu, bahkan lebih luar biasa lagi, pagi ini dia baru saja menemani Hartanto berjemur dan berjalan santai sebagai bagian dari terapi stroke yang pria paruh baya itu alami. Mereka tidak banyak bicara saat itu, namun ada perasaan lega yang mendiami hati mereka masing-masing.
Momen-momen seperti ini sebelumnya hampir mustahil terbayangkan, mengingat hubungan mereka yang selama bertahun-tahun dipenuhi dengan pertengkaran. Sejak mereka baikan beberapa hari lalu, keadaan rumah terasa lebih damai. Meski memang tidak dipungkiri kalau kecanggungan itu masih ada di sana-sini, keduanya sepakat untuk berusaha. Pertengkaran panjang itu tidak mungkin hilang begitu saja dalam seketika, tapi langkah demi langkah, mereka mulai menyambung kembali apa yang sempat putus.
"Pa, Gallio tinggal ke kamar ya?" ucap Gallio sambil memastikan ayahnya duduk dengan nyaman di kursi santai ruang keluarga.
"Oh, iya iya, Bang. Makasih ya," jawab Hartanto dengan senyum hangat, sesuatu yang jarang Gallio lihat dari sosok ayahnya beberapa tahun belakangan.
"Sama-sama, Pa," jawab Gallio sebelum beranjak. Ada sesuatu yang hangat dan tulus dalam cara ayahnya memperlakukannya sekarang. Rumah ini tidak lagi terasa dingin seperti dulu. Gallio kini merasa benar-benar diterima, sesuatu yang lama dia rindukan di balik kemarahannya.
Sambil menaiki tangga menuju kamarnya, ponselnya bergetar. Gallio merogoh saku celana dan melihat notifikasi grup tugas kuliah.
Dia mendesah panjang. Lagi-lagi tugas kuliah. Baru juga dia ingin berleha-leha di kamar, sudah ada beban pikiran yang harus dikerjakan. Tapi tidak hanya sampai di situ. Pasalnya grup yang memunculkan notifikasi di layar ponselnya adalah grup yang dimana ada Jenny juga di sana.
Kemarin-kemarin mungkin Gallio cukup senang karena berada dalam satu kelompok yang sama dengan Jenny. Tapi sekerang? Situasinya sudah berbeda. Sejak Jenny dan Alex resmi bersama, Gallio berusaha keras menjaga jarak. Dia pikir, mungkin dengan menghilang dari pandangan mereka, hatinya akan lebih cepat sembuh. Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Di beberapa mata kuliah, mereka satu kelompok, dan itu seperti garam di atas luka yang masih basah.
Ziesya:
Guys, ini tugas buat minggu depan, ada yang inget?Gallio mengernyit. Tugas? Dia merasa tidak pernah mendengar soal tugas itu. Dia membuka foto yang Ziesya kirim—foto soal bilangan biner dari dosen Sistem Informasi. Ah, benar juga, materi itu sempat disebut sekilas di kelas. Tapi Gallio tidak yakin sang dosen memberikan tugas karena terakhir kali dosen buru-buru mengakhiri. Ada rapat, katanya waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
JENNY PRISKILLA ✔️
Fiction généraleGallio Alessandro Kanaka belum pernah merasa sefrustasi ini untuk menaklukan hati seseorang. Biasanya, perempuan-peremuan selalu mau padanya karena dia tampan, kaya dan populer. Perbedaannya justru membuat Gallio semakin tergila-gila. Perempuan itu...