"DORrr!"
"ANJ—DAMAR!!"
Naf'an tertawa lepas melihat ekspresi Rai yang seperti akan jatuh dari jurang. Harusnya Naf'an rekam tadi, di kelas ada CCTV nggak, ya? Kalau iya Naf'an mau merekamnya. Lalu nanti saat Rai ulang tahun, Naf'an akan menyebarkan nya di story Instagram.
"Hobi kok ngelamun, mana masih pagi." Rai hanya menatap jengah Naf'an yang kini mulai duduk di sebelahnya. Laki-laki itu meletakan tas nya.
"Serah gue juga sih, bukan urusan lo juga." Rai membalas sewot. Naf'an hanya menggeleng. Tidak pernah kaget mendengar jawaban ketus seperti itu. Mungkin.. seperti sudah menjadi makanan sehari-harinya. "Jadi lo mau hukuman apa?" Tanya Naf'an mengubah topik.
Seketika Rai menoleh dan hanya untuk menemukan Naf'an yang terpapar sinar matahari pagi karena menghadap jendela di samping Rai. Kenapa, ya Naf'an itu ngeselin? Kenapa dia juga suka mengganggunya? Kenapa juga Rai membenci sosok yang kini menatapnya?
"Gue benci banget sama lo anjir." Ucap Rai tiba-tiba. Begitu benci sampe gue nggak ngerti bisa bertahan tanpa kak Iel dengan berada di dekat lo. Kenapa harus elo sih, Na?
Naf'an..
Kenapa harus elo yang selalu ada buat gue di saat sedih? Gue malu, bangsat.
"Iya lo benci gue. Tapi bukan itu pertanyaan gue." Naf'an tercekat begitu melihat air mata Rai keluar begitu saja. "Bokap gue ternyata selama ini.. selingkuh, Na.." Rai menutupi wajahnya dengan tangan. "Gue cengeng bangettt, kenapa sih?? Kenapa gue selalu bisa nangis di depan lo? Sedangkan di depan papa aja kadang masih bisa gue tahan?
"Waktu di depan kak Iel juga gue selalu berusaha buat nggak nangis." Naf'an diam, ia ingin menghapus air mata Rai, tapi rasanya terlalu berat untuk melakukannya. "Karena bang Daniel nggak pernah nyakitin lo." Rai langsung mengangkat kepalanya.
"Siapa yang bilang?! Gue gorok lehernya." Naf'an menelan ludahnya susah payah. Salah bicara. "Dia abis lamaran asal lo tau. Udah 2023 tapi jodoh-jodohan masih berlaku aja! Pantes pas gue bimbel nyokapnya bilang salah satu anaknya mau lamaran." Tangan Rai mengepal, giginya gemeletuk karena kesal. "Kenapa sih dia nggak bilang dari awal aja? Biar gue nyari yang lain! Gue juga laku kali!"
"Iya iya, udah lo jangan nangis,"
"Nggak bisa.." air mata Rai semakin deras. "Gue capek anjir nangis di depan lo? Kenapa sih? Lo pake pelet biar gue kelihatan lemah di depan lo, ya?!"
Naf'an hanya diam. Tapi diamnya laki-laki itu justru membuat Rai semakin curiga. "Bener nih?!?"
"Minimal kalo nanya yang berfaedah kek." Jawaban naf'an membuat Rai terkekeh.
"Tapi gue seneng sih papa nggak ada. Sekarang nggak ada yang nuntut gue lagi. Kalo nggak ada Daniel juga gue nggak perlu repot-repot ngabarin." Naf'an tidak terlalu menanggapi. "Kok lo cuekin gue sih?"
"Ya." Acuh Naf'an. Itu membuat mereka berada di keheningan yang cukup lama. Sedangkan bell sudah masuk dan guru pengajar belum juga memasuki kelas.
"Jangan sering-sering nangis depan gue, ya, Cil? Gue nggak bisa ngehapus soalnya. Kalo lo bisa tahan di depan bokap dan bang Daniel, harusnya lo juga bisa di depan gue."
🌷🌷🌷
Mungkin Naf'an yang menerima hukuman itu sudah basic. Tapi kali ini Rai yang menerimanya. Itu membuat cengiran Naf'an semakin lebar ketika mie ayam mulai disajikan. "Gilaa akhirnya si bocil kena hukum juga."
"Iya dah, lo makan sampe gerobaknya sekalian gue bayarin." Naf'an mengurungkan niatnya untuk mengambil kecap dan memilih menatap Rai dengan tatapan selidik. "Lo kok kelihatan banyak duit gitu sih?"
Dari dulu Rai memang nggak kelihatan anak kurang duit, tapi—ya nggak tahu juga sih. Mereka nggak seakrab itu. Tapi kan setidaknya tahu Rai itu dari keluarga yang lebih dari cukup. Dan hari ini, setelah kemarin-kemarin hanya melihat air mata Rai, akhirnya senyuman (menyebalkan) itu muncul kembali.
"Emm, soal apa yang gue bilang waktu itu," Naf'an mendongak untuk menemukan Rai yang meremat sendok tanpa melanjutkan kata-katanya. "Pokoknya, apapun itu gue harap lo enggak bener-bener ngelakuin, I mean gue cuma kebawa perasaan—terus, situasinya juga kan kayak cepet gitu—jadi gue harap—"
"Iya." Naf'an menjawab santai. Menyahut omongan Rai yang makin berbelit-belit karena sungkan. "... Oke"
"Gue paham situasinya. Itu mungkin.. spontanitas lo karena sedih." Pemuda itu menggidikan bahu dan menyunggingkan senyum tipis. Rai harusnya lega, tapi mengapa rasanya tidak ingin Naf'an benar-benar tidak melakukannya. Seperti.. pergi meninggalkannya seperti yang lain.
Rai trauma di tinggalkan seseorang, terutama laki-laki.
Orang yang ia percaya bisa menjadi tempat bersandarnya kini di paksa mengikat janji dengan perempuan selain Rai. Orang yang selalu Rai harapkan untuk dekat juga malah makin menjauh. Lalu selain mama Rai mau kemana lagi?
"Tapi gue juga bersedia kalo lo tiba-tiba minta buat gue nggak kemana-mana."
Dan Rai mendongak lagi, saling menatap manik kelam mereka di sebuah warung mie ayam depan SD Negeri tempat Rai dan Naf'an kembali di pertemukan. Jadi yang kali ini, bolehkah?
Bolehkah Rai berharap lebih?
🌷🌷🌷
"TOLOL, SIH!!"
"Ya gimana?? Itu omongan tiba-tiba keluar gitu aja tanpa di suruh, gue juga nggak pernah ngerangkai sebelumnya."
Zalva mengacak rambutnya, ikut frustasi mendengar cerita Naf'an. Mala petakan nya di buat sendiri, tapi yang panik satu kampung.
"Tapi lo suka kan sama Rai? Maksudnya dari kata-kata lo itu terlihat jelas kalo lo ngasih harapan ke cewek! Dan lo lagi berurusan sama Raina, anjir lo gila, sih, Fan."
Suka?
Naf'an sendiri tidak tahu jawabannya. Naf'an tidak pernah benar-benar menyukai seseorang. Seperti.. berdebar, malu atau salting? Tapi bersama Rai, melihat tawa nya Naf'an suka, melihat wajah kesalnya itu candu, dan melihat sedihnya Naf'an benci.
Hal spesifik lain saat merasakannya debaran jantung itu makin menguat ketika jepit Lotso yang mereka beli tempo hari itu di gunakan.
Laki-laki itu menghembuskan asap rokok dengan pikiran berisik. Perlahan tatapannya dengan Zalva bertemu. "Jadi, kalo gue beneran suka harus gimana?"
Zalva tersenyum miring sambil menjentikkan jarinya. "Nah, lo bertanya pada buaya yang tepat."
🌷🌷🌷
PANIK!! PANIK!! HAHAHAHAH
KAMU SEDANG MEMBACA
Rules Semeja!
FanfikceHari ini Rai memakai jepit rambut Lotso nya lagi. Tidak ada yang salah dengan jepit rambut itu, hanya saja afeksi yang di timbulkan membuat Naf'an harus dua kali kerja--menjadi tempat terurainya kegalakan Rai, dan juga mengatur detak jantungnya. Sua...